Slider

Kolom Muhammad Ridwan

PNPM Mandiri

Media Sosial

Review Film

Berita

Kuliner

PAN-Islamisme, Nasionalisme Sekuler dan Kemerdekaan Palestina

1353243127836615465
Mesjid Al-Aqso di Yerusalem

Belum reda krisis kemanusiaan di Suriah, demonstrasi besar-besaran kembali terjadi di Jordania dan Bahrain. Tuntutannya hampir sama seperti yang terjadi di Mesir, Tunisia, Libya dan Yaman, yaitu reformasi politik dan ekonomi. Timur Tengah semakin carut marut, karena ditengah eforia gerakan “Arab Spring” Israel melakukan aksi sepihak menyerang Jalur Gaza. Serangan brutal Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza telah menewaskan kurang lebih 80 orang, termasuk pimpinan sayap militer Hamas, Ahmad Al-Jabari.

Serangan Israel ke Jalur Gaza merupakan ujian bagi Pemimpin Arab pasca Arab Spring, termasuk Muhammad Mursi sebagai Presiden Mesir. Mursi sudah mengatakan bahwa Mesir tidak akan meninggalkan Gaza sendirian, Mesir sekarang berbeda dengan Mesir yang lalu dan Arab sekarang berbeda dengan Arab yang lalu. Ini merupakan komitmen bagi kekuatan Politik Islam di Timur Tengah terhadap Palestina. Pertanyaannya sekarang, mampukah kekuatan Politik Islam di Timur Tengah mewujudkan Kemerdekaan Palestina?


Kemenangan Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin (IM) dalam pemilihan Presiden Mesir dianggap sebagai momentum kebangkitan Islam Politik di Timur Tengah. Kemenangan IM menegaskan munculnya kekuatan Islamis pascarevolusi Arab Spring. Bukan hanya IM di Mesir yang berhasil memenangi pemilu demokratis. Partai politik Islam di negeri Arab lain juga menuai sukses setelah mengalami penindasan panjang. Pemilu Tunisia, tempat bermula Arab Spring, juga dimenangi Partai Ennahda dengan 41 persen. Warga Maroko juga memenangkan Partai Keadilan dan Pembangunan dengan 107 di antara 395 kursi. di Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan atau AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) yang Islami pimpinan Erdogan kembali mencatat sejarah fenomenal. AKP memenangi pemilu 12 Juni 2011 dengan suara mayoritas.
Wilayah Palestina Setelah Pendudukan Israel
Kelompok Islamis lain sebelumnya juga menang di beberapa kawasan. Hamas memenangi pemilu Palestina, mengalahkan Fatah yang lebih didukung Amerika Serikat dan sekutunya. Di Aljazair, pemilu pernah dimenangi partai islam (FIS), tapi dibatalkan militer dan menimbulkan pertumpahan darah panjang. Hingga kini Aljazair belum stabil.

Cita-cita politik yang lebih Islami mempesona lanskap politik Arab kontemporer. Kemudian hipotesanya, apakah kemenangan partai politik islam di Timur Tengah adalah proses alamiah dari masyarakat dunia Islam?
Untuk menjawab hipotesa tersebut, kita harus kembali ke awal perkembangan Islam.

Hubungan antara Negara dan Islam pada masa rosulullah SAW adalah integral tidak terpisahkan. Rosulullah adalah pemimpin negara sekaligus pemimpin agama. Namun sejak Rosulullah meninggal, dan kepemimpinannya digantikan oleh sahabat, mulai terjadi konflik di internal Ummat Islam. Khususnya setelah wafatnya Khalifah Ali Bin Abi Thalib, dengan munculnya kelompok Islam Sunni dan Syiah.

Walau terjadi perpecahan di internal umat Islam, namun disatu sisi wilayah Islam semakin luas dibawah Khalifah penerusnya. Dengan luas wilayah Islam yang terdiri dari beragam etnik dan budaya, dibutuhkan aturan main untuk mengatur negara dan masyarakatnya yang disebut dengan syariah. Kebutuhan syariah ini kemudian memunculkan kalangan akademisi religius yang disebut dengan Ulama, yang tugasnya memformulasikan syariah tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Oleh sebab itu, Khalifah dalam masa tersebut cenderung sebagai pemimpin negara sedangkan permasalahan syariah Islam diserahkan kepada Ulama. Pembagian tugas tersebut berlangsung sampai tahun 1924 ketika sistem kekhalifahan dihapus oleh tokoh nasionalis sekuler Turki, Mustafa Kemal Ataturk.

Seiring dengan meredupnya masa kejayaan Islam dan meluasnya kolonialisme ke wilayah kesultanan Islam, maka paham sekularisme mulai menggantikan Islam sebagai dasar kehidupan masyarakat muslim mulai abad 19. Kolonialisme telah membentuk kelas menengah sekuler terdidik oleh barat. Seperti program politik etis di Indonesia yang memunculkan tokoh-tokoh nasionalis, yakni dr. Sutomo dan dr. Cipto Mangunkusumo, yang membentuk Budi Utomo, organisasi nasionalis sekuler pertama di Indonesia. Dan sejarah Indonesia mencatat munculnya tokoh nasionalis yang menjadi Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno.

Tidak hanya di Indonesia, tokoh-tokoh nasionalis sekuler didikan barat ini kemudian menduduki berbagai posisi penting di pemerintahan yang semakin menggerus basis tradisional dari kekuasaan atau pengaruh Ulama.

Semakin meluasnya pengaruh sekuler dalam tatanan masyarakat Islam, membuat resah kalangan menengah terdidik Islam yang sholeh. Sehingga pada abad 19 muncul sebuah gerakan “kembali kepada nila-nilai Islam” atau disebut gerakan Islam revivalis. Tokoh kunci gerakan Islam revivalis adalah Jamal al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rashid Ridho. Dengan gerakan salafiyah, tokoh Islam diatas berupaya mendakwahkan ajaran untuk kembali pada tradisi religius asli dimasa-masa Nabi Muhammad SAW. Kemudian terinspirasi dari tulisan Rashid Ridho, Hasan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin (persaudaraan muslim) di Mesir pada tahun 1928. Kemudian di India muncul tokoh Islam bernama Sayyid Abul Ala Maududi yang mendirikan Jama’ah Al Islamiyyah ditahun 1941, karena terinspirasi Hasan al-Banna. Tidak terkecuali di Indonesia, pada tahun 1912 terbentuk organisasi Islam Muhammadiyyah oleh K.H. Ahmad Dahlan yang terinspirasi gerakan Islam revivalis di Timur Tengah. Gerakan Islam revivalis diseluruh kawasan Islam saat itu dikenal dengan gerakan Pan–Islamisme.
 
Namun sampai meletusnya perang dunia II (PD II), gerakan Pan–Islamisme gagal membebaskan negara-negara Islam dari belengu kolonialisme. Kegagalan tersebut dikarenakan sampai pertengahan abad 20, masyarakat Muslim cenderung bergerak ke arah sekularisme, modernisme bahkan marxisme. Gerakan Pan–Islamisme minim dukungan dari kaum muslim sendiri. Contohnya, bagaimana pergulatan ideologi dalam proses pembentukan negara Indonesia. Sejarah mencatat proses dihilangkannya tujuh kata dalam sila pertama Pancasila dalam UUD 1945. Walaupun sebagian ahli sejarah menjelaskan bahwa hilangnya tujuh kata dalam sila pertama Pancasila, adalah konsensus Nasional pendiri bangsa. Namun secara tersirat, hal tersebut menandakan gerakan Pan-Islamisme tidak mendapat dukungan di Indonesia.

Pasca PD II, nasionalisme radikal merupakan filosofi politik yang dominan di negara-negara terjajah, mulai dari Indonesia sampai Aljazair. Indonesia dengan kepemimpinan Ir. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kemudian di Timur Tengah muncul gerakan nasionalisme Arab radikal dengan Pemimpin kuncinya adalah Gamal Abdel Nasser dari Mesir, serta Muhammad Mossadegh dari Iran.
Kesamaan dari tiga pemimpin nasionalis diatas, yakni ingin memisahkan antara Islam dan negara, dengan cara menekan kelompok-kelompok Islam revivalis. Soekarno berupaya memberangus kelompok Masyumi, Gamal Abdel Nasser menekan dengan segala cara kelompok Ikhwanul Muslimin dan Ahmad Mosaadegh berupaya menekan para Mullah dari Kelompok Islam Syiah.

Namun, disinilah uniknya kelompok Islam revivalis. Disaat mereka ditekan habis-habisan olek kelompok nasionalis radikal, kelompok Islam ini bersedia bekerjasama dengan Amerika Serikat melalui CIA, untuk menggulingkan pemimpin nasionalis. Contohnya di Indonesia, ketika beberapa tokoh Masyumi ikut bergabung dengan pemberontak PRRI di Sumatera. Sudah jadi rahasia umum bahwa CIA adalah dalang pemberontakan PRRI. Demikian juga di Mesir, Amerika berusaha mendongkel Gamal Abdel Nasser dengan bantuan Ikhwanul Muslimin yang mendapat dukungan Arab Saudi. Hal yang sama dilakukan untuk mendongkel Ahmad Mosaddegh di Iran dengan memberikan dukungan kepada para Mullah diantaranya Ayatolah Khomenei dan Ayatolah Kashani. Namun usaha kudeta terhadap Pemimpin nasionalis radikal tersebut tidak berhasil.

Seiring berjalannya waktu, pemimpin nasionalis di Timur Tengah tidak mampu menjawab persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi rakyatnya, yaitu dibidang kesejahteraan rakyat. Kepercayaan rakyat terhadap Pemimpin nasionalis di Timur Tengah semakin menurun ketika pada tahun 1970-an banyak negara jatuh dalam krisis ekonomi.

Kemudian dalam tataran politis, jatuhnya Yerusalem dan sebagian wilayah Arab dalam perang enam hari dengan Israel semakin melemahkan legitimasi nasionalisme Arab. Kemudian berkecamuknya perang Irak, Afghanistan serta berbagai konflik di dunia Islam, yang tidak bisa diselesaikan oleh Pemimpin Nasionalis dan monarki, memunculkan rasa frustasi dikalangan dunia Islam, khususnya kelas menengah terdidik yang diwakili oleh Mahasiswa.

Rasa frustasi dan ketidakpuasan dibidang politik, ekonomi, hukum dan kehidupan sosial di Timur Tengah, membuat kelas menengah yang dimotori mahasiswa menjadi condong ke arah ideologi Islam. Pemuda terdidik dan kelas menengah perkotaan menjadi basis utama kader gerakan Islamis.
Mulai tahun 1990-an basis Islam bergeser menggarap kelas sangat miskin yang dirugikan langsung oleh praktek Pemerintahan yang korup dan tidak adil. Di kelas masyarakat miskin inilah gerakan Islam memberikan berbagai program atau layanan sosial yang menyentuh langsung persoalan rakyat. Rakyat miskin dan marginal menjadi basis masa yang besar bagi gerakan Islam.

Kalau kita analisa, revolusi yang terjadi di Timur Tengah diawali dengan isu ketidakpuasan kelas miskin kepada Pemerintah, kemudian isu tersebut ditangkap oleh kelas menengah dengan mengorganisir massa dalam rangka menumbangkan rejim yang berkuasa. Gerakan tersebut sangat mirip ketika Soeharto dilengserkan pada tahun 1998. Nyaris kelompok Islam berkuasa di Indonesia waktu itu. Namun reformasi yang dijalankan oleh kelompok Islam di Indonesia sangat prematur karena belum terkonsolidasikannya kekuatan-kekuatan Islam serta masih kuatnya ABRI/TNI sebagai penjaga ideologi sekuler.

Dari paparan diatas, tulisan ini bisa menjawab hipotesa diatas, bahwa bangkitnya politik Islam bukan proses alamiah dalam masyarakat Muslim, akan tetapi ada faktor lainnya, yaitu pemerintahan yang otoriter dan korup, adanya kesenjangan sosial ekonomi serta merosotnya legitimisasi politik baik di dalam maupun luar negeri pasca perang enam hari dengan Israel tahun 1967 serta peristiwa 11 September 2001.

Oleh karena itu momentum kebangkitan politik Islam di Timur Tengah harus mampu membawa Palestina ke pintu Kemerdekaan. Karena selama ini nasionalisme sekuler Arab tidak mampu memerdekakan Bangsa Palestina.

Wallahu’alam.

Sumber : http://www.kompasiana.com/ridwan78