Anda mungkin pernah mendengar
suatu kisah yang diceritakan orangtua kita tentang shalat Istiqho di
negeri Islam Andalusia, Spanyol.
Diceritakan, negeri Islam tersebut pernah ditimpa
kemarau yang sangat panjang. Selain kehancuran tanaman pertanian
akibat kekurangan air, berbagai musibah lain terjadi silih berganti. Akhirnya
Sultan Andalusia memerintahkan seorang ulama besar untuk menyelenggarakan Shalat Istiqho di pusat pemerintahan.
Sebagaimana lazimnya sebelum shalat Istiqho, Sultan harus berkhotbah. Namun,
ketika Sultan hendak bekhotbah, mendadak suaranya hilang. Sultan tidak bisa
berucap sepatah-pun. Akhirnya sang Ulama besar berusaha menyelamatkan sang
Sultan dengan mengambil alih mimbar. Tapi, sangat ajaib, ulama besar itu pun
mendadak bisu.
Shalat Istiqho yang dimaksudkan
untuk menghilangkan satu musibah, ternyata malah mendatangkan musibah baru,
para penguasa negeri mendadak bisu tidak bisa bicara. Ditengah kepanikan dan
kebingungan jamaah sholat istqho, tiba-tiba seorang pemuda maju ke atas mimbar.
Sang pemuda tersebut mulai mengucapkan salam dan meminta izin untuk berkhotbah
menggantikan sang Sultan dan Ulama besar tadi. Sang pemuda mulai berkhotbah
dengan suara yang tenang, bicaranya lancar dan fasih serta topiknya menarik,
yakni “Menggugat para pemimpin atas dosa-dosa besarnya”.
Dengan tegas pemuda
tersebut mengatakan bahwa musibah yang menimpa negeri Islam Andalusia terjadi
karena kesalahan para penguasa negeri, baik Sultan, pejabat negara maupun para ulama. Sang pemuda meminta Sultan dan
semua pejabat bertobat. Ia menyebut satu persatu kesalahan para pemimpin negeri
Islam tersebut dan meminta mereka mengakuinya dihadapan rakyat dan Allah SWT.
Tiba-tiba
sang Sultan menangis dengan kerasnya setelah mendengar khutbah pemuda tadi.
Pemuda tadi kemudian menutup khutbahnya dengan kalimat, “Bila penguasa bumi
sudah takut kepada Allah SWT, akan ridhalah Penguasa Langit”. Ajaib, bersamaan
dengan aliran air mata sang Sultan, hujan pun perlahan-lahan turun, semakin
lama semakin deras.
Akhirnya negeri Islam Andalusia bisa kembali sedia kala,
menjadi negeri yang makmur dan sentosa karena para pemimpinnya sudah melakukan “Tobat
Nasuha” secara berjamaah.
Kisah diatas mengingatkan kita
akan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Musibah datang silih berganti,
kekisruhan sosial masih terjadi dimana-mana, lemahnya penegakan hukum dan kemakmuran rakyat yang
dijanjikan pun belum kunjung dinikmati rakyat secara merata.
Saat ini, rakyat
Indonesia disuguhi oleh skandal-skandal memalukan yang dilakukan oleh para
pemimpinnya, baik pemimpin formal di pemerintahan maupun pemimpin non-formal ditengah
masyarakat seperti Ulama dan tokoh masyarakat. Korupsi berjamaah, politik
dinasti dan nepotisme, perzinahan, praktek suap, dan berbagai praktek penyalahgunaan
kekuasaan lainnya terjadi di semua lapisan kekuasaan. Apakah kita harus
menunggu seorang pemuda seperti cerita diatas agar para pemimpin kita mau
melakukan “Tobat Nasional”?
Kini, ditengah carut-marutnya pemerintahan
karena berbagai praktek korupsi besar dan penyalahgunaan kekuasaan, saatnya
para pemuda Indonesia kembali “menggugat” atas apa yang telah menimpa negeri
ini.
Selama ini, pemuda selalu menjadi
motor penggerak perubahan sosial, namun selalu menjadi “penumpang” yang
ketinggalan gerbong perubahan yang dilakukannya sendiri. Kalau kita kembali membuka
lembaran sejarah panjang Bangsa Indonesia, Pemuda selalu menorehkan tinta emas
disetiap masa.
Awal abad ke-20, ketika muncul
pemuda-pemuda terdidik di Indonesia, Pemuda menjadi barisan terdepan dalam
mengoreksi kekuasaan kolonialisme. Para
pemuda yang menyadarkan rakyat Indonesia bahwa pentingnya persatuan nasional
untuk melawan kolonialisme. Melalui kongres Pemuda, mereka melahirkan sebuah “Piagam
Kebangsaan” sebagai pondasi untuk membentuk sebuah bangsa, yaitu Sumpah Pemuda.
Para pemuda Indonesia berikrar menghilangkan semua perbedaan, mendobrak
sekat-sekat budaya, agama, suku dan bahasa. Mereka berikrar, bertanah air satu,
berbahasa satu dan berbangsa satu, yaitu Indonesia.
Kemudian kemerdekaan Indonesia pun
diraih atas keberanian para pemuda Indonesia. Gugatan atas pemerintahan Orde
Lama yang melahirkan Tritura juga dilakukan oleh pemuda, dan terakhir, koreksi
total atas Pemerintahan Orde Baru pun dilakukan oleh Pemuda melalui para
Mahasiswa di tahun 1998. Pemuda selalu selalu menjadi “Juru Selamat” Bangsa
Indonesia ketika dalam sebuah krisis.
Saat ini, kita mengharapkan para Pemuda
kembali menjadi “Juru Selamat” ditengah krisis moral para Pemimpin bangsanya
seperti cerita negeri Andalusia diatas. Saatnya kembali para pemuda menggugat!
Selamat Hari Sumpah Pemuda, 28
Oktober 2013.
Oleh: Muhammad Ridwan
0 komentar