Slider

Kolom Muhammad Ridwan

PNPM Mandiri

Media Sosial

Review Film

Berita

Kuliner

» » » » Analisis Marxis Tentang Islam Politik


Bentuk imperialisme mengalami metamorfosis sejak berakhirnya perang dunia Kedua. Saat ini Amerika Serikat dan sekutunya mendominasi di seluruh dunia, baik secara ekonomi, politik maupun militer. Secara ekonomi, dominasi itu ditancapkan melalui lembaga-lembaga seperti IMF dan WTO. Sementara secara politis melalui pemimpin yang bisa dikendalikan dan dipengaruhi seperti yang terjadi di Irak, Afghanistan, dan Palestina, dan secara militer dengan cara pendudukan negara-negara berdaulat di Timur Tengah dan Asia Selatan.

Praktis, pasca berakhirnya perang dingin, Amerika Serikat dan sekutunya menjadi satu-satunya polisi dunia. Namun pasca peristiwa 11 September 2001, atau lebih dikenal dengan peristiwa 9/11 melalui kampanye Presiden George W. Bush yang disebut “Perang Melawan Teror”,  telah mengubah seluruh diskusi tentang relasi Islam dan Dunia Barat.  Mulai saat itu, Amerika Serikat mulai menghadapi penyeimbang baru yakni gerakan Islam Politik di seluruh dunia

Imbas dari kampanye “Perang Melawan Teror”, tidak hanya Al-Qaeda yang menjadi target, banyak gerakan Islam yang dianggap radikal, dan dicurigai berafiliasi dengan Al-Qaeda juga terkena imbasnya. Tidak hanya itu, gerakan Islam Politik yang tidak ada hubungan dengan Al-Qaeda-pun ikut diberangus.
 
Akibatnya, terjadi ‘balasan’ dari gerakan Islam yang dilabeli pihak Barat dengan aksi “terorist” oleh kelompok fundamentalis. Kelompok ini dianggap oleh Amerika dan Sekutunya berusaha mengembalikan peradaban Islam dan memakai Islam sebagai basis politik perlawanan.

Dari gambaran diatas, para analis konservatif barat kemudian dengan mudahnya memutar ulang klise orientalis klasik bahwa peristiwa 9/11 adalah dimulainya perang melawan kebangkitan Islam Politik. Anggapan tersebut seolah dikuatkan dengan tesis Samuel Huntington, yang berpendapat ada perbedaan budaya yang mendalam  antara Islam dan Dunia barat, termasuk dalam politik. Pertanyaannya, benarkah analisis tersebut?

Menurut Deepa Kumar, Profesor Studi bidang Media dan Timur Tengah dari Rutgers University, New York,  Teori Samuel Huntington tidaklah benar. Dalam buku Deepa Kumar yang berjudul “Islam Politik: Sebuah Analisis Marxis”, peristiwa 9/11 yang dilakukan oleh militan Islam, harus di analisa dari materialisme  atas sejarah, atau yang secara umum di kenal dengan materialisme historis, yang merupakan penerapan dialektika materialisme tentang evolusi masyarakat manusia Karl Marx.

Deepa Kumar berpendapat, penafsiran Materialisme historis (Historical Materialism)  dapat melihat perkembangan sejarah masyarakat, tanpa terkecuali pada Islam. Perkembangan peradaban Islam, tidak selalu berlandaskan pada nilai ajaran, namun dipengaruhi pula oleh kondisi meterial yang mengiringi.

Dalam pengantar Buku Deepa Kumar tersebut, Coen Husain Pontoh Mahasiswa Ilmu Politik City University Of New York (CUNY), memberikan paparan secara singkat tentang materialisme historis dan metode Marx. Husain Pontoh menyatakan Kumar berhasil mendemonstrasikan perangkat materialisme historis dalam kemunculan Islam politik.  Ada tiga poin pandangan Deepa Kumar terkait Islam Politik dari sisi analisis Marxian. Pertama, tesis tentang menyatunya agama dan politik dalam Islam sebagai sesuatu yang alamiah tidaklah benar. Kedua, konsekuensi dari tesis itu, maka Islam politik merupakan akibat dari situasi politik kontemporer. Ketiga, kelas menengah sebagai basis utama dari kalangan Islam politik. Ketiga poin itu, beranjak pada materialisme historis, bahwa sejarah terjadi bukan dari dalam (gagasan) manusia itu sendiri, tetapi dari kondisi luaran (kondisi-kondisi material) membentuk manusia yang menyejarah.

Menurut Kumar, berpijak pada kondisi-kondisi material, analisis terhadap perkembangan sejarah masyarakat Islam memunculkan keterpisahan berbagai peran. Pada saat Nabi  Muhammad SAW masih hidup , semua peran utuh berada pada diri Nabi Muhammad SAW, baik urusan agama, sosial, ekonomi, budaya dan politik. Pasca Nabi wafat, muncul beragam konflik. Mulai dari siapa menjadi pengganti beliau, terpecahnya Islam menjadi beberapa mazhab dan aliran, Islam dalam masa Khalifah yang sering berganti, sampai pada masa kemunduran peradaban Islam di Eropa. Pasca Nabi Muhammad SAW wafat itulah peran mulai terpisah, antara agama dan politik.

Kumar memaparkan, keterpisahan antara agama dan politik, juga disebabkan oleh semakin luasnya wilayah penguasaan Islam. Akibat dari beragamnya suku bangsa yang memeluk Islam, maka dibutuhkan  serangkaian aturan hukum untuk diterapkan kepada seluruh umat Islam secara seragam yang disebut dengan Syariah. Ulama kemudian ditugaskan untuk memformulasikan hukum Syariah tersebut. Peran Ulama, meski dibawah kekuasaan pemimpin, khalifah atau sultan, namun keberadaanya berdiri pada posisi yang berbeda.  Namun, keterpisahan yang dimaksud bukan berarti secara tegas,  atau de facto dalam bahasa Kumar. Berbeda halnya dengan  Barat, pemisahan antara domain agama dan peran negara adalah hal yang berdiri sendiri, tidak ada kaitannya, atau disebut juga dengan konsep sekularisme (pemisahan agama dari politik negara).

Pasca runtuhnya Daulah Islamiyah Ottoman Turki dan perang dunia kedua, Gerakan Islam Politik kembali bangkit. Menurut Kumar, ada tiga Faktor yang melatarbelakangi kebangkitan dan meluasnya pengaruh Islam Politik.

Pertama, Intervensi dan dominasi Imperialisme Amerika Serikat dan sekutunya. Kedua, kegagalan dan kotradiksi internal dari Nasionalisme sekuler dan kiri Stalinis yang menciptakan kekosongan politik, dan Ketiga, perkembangan krisis ekonomi di beberapa negara yang menunjukan metode kapitalis tidak mampu memberikan solusi bagi kesejahteraan ummat Islam, yang kemudian kaum Islamis melalui jaringan sosial mereka yang luas mampu menawarkan solusi “Islami”, dan jaringan Islam politik berkembang pesat karena didukung oleh kelas menengah Islam terdidik perkotaan dan seksi-seksi lain yang non-kelas.

Dari analisi Kumar tersebut, materialisme historis secara telak menghantam analisa barat dan kaum Islam Liberal seperti  Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia, yang melihat perkembangan politik Islam yang pesat akibat dari penafsiran yang sempit dan Zumud atas Kitab Suci Al-Qu’an dan hadist nabi. Menurut Kumar, dengan materialisme historis, dapat menjelaskan kebangkitan Islam Politik dengan melihat kondisi-kondisi material yang melatari kebangkitan tersebut.

Berbeda dengan kalangan orientalis Barat dan JIL, yang menyatakan kebangkitan Islam politik karena sebuah cita-cita utopis kembalinya Islam seperti pada masa Rosulullah karena gagasan para ulama atau tokoh Islam Politik dengan mengabaikan aspek ekonomi politiknya. Wajar jika mereka (JIL) menawarkan tafsir yang berbeda (Tafsir liberal) sebagai upaya untuk meredam bangkit dan meluasnya pengaruh Islam politik. Sehingga kita melihat ada perang tafsir antara JIL dan Islam Politik.

Sementara itu Kumar menyarankan kepada para ideolog kiri atau Marxian, untuk menghadapi kebangkitan Islam politik adalah ikut serta melawan imperialisme Amerika Serikat yang menjadi penyebab utama munculnya Islam politik. Marxian harus mengakomodasi perlawanan imperialisme dan neo-liberalisme di negara-negara mayoritas berpenduduk Islam (Contoh kasus di Mesir, Irak, Afghanistan, Syiria dan Palestina, bahkan Indonesia).  Dengan begitu, kalangan Marxis-Stalinis ataupun Maoist dapat dianggap berperan penting bagi kebangkitan Islam. Hanya dengan begitulah, menurut Kumar gerakan kiri bisa menjadi kekuatan pembebas sejati. Namun secara prinsipil, para Marxian tetap harus menentang keberadaan Islam Politik karena wataknya yang anti kiri, anti demokrasi dan anti sekularisme.

Kesimpulan penulis: Kebangkitan Islam Politik pada akhirnya secara diametral akan selalu mendapat tantangan baik dari pihak barat jika tidak memahami secara dialektika historisnya,  atau secara tersembunyi dari pihak lainnnya dalam hal ini para pengusung ide-ide Marxian, Lenimisme atau Maoisme, walaupun seolah-olah mereka membantu Islam politik. Bahkan Soekarnoisme-pun pernah memberangus gerakan Islam politik pada era orde lama. Ada kecenderungan saat ini, bandul politik Islam di Indonesia bergerak ke tengah, apakah untuk meminimalisir benturan politik, atau hanya untuk kepentingan pragmatis politik semata. Hal tersebut butuh kajian yang berbeda dan lebih lanjut.

Muhammad Ridwan, Citizen Reporter di www.mediawarga.info
Berdomisili di Bandar Lampung.
Referensi: Buku Islam Politik : Sebuah Analisis Marxis

Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?