Bentuk imperialisme mengalami metamorfosis sejak
berakhirnya perang dunia Kedua. Saat ini Amerika Serikat dan sekutunya
mendominasi di seluruh dunia, baik secara ekonomi, politik maupun
militer. Secara ekonomi, dominasi itu ditancapkan melalui
lembaga-lembaga seperti IMF dan WTO. Sementara secara politis melalui
pemimpin yang bisa dikendalikan dan dipengaruhi seperti yang terjadi di
Irak, Afghanistan, dan Palestina, dan secara militer dengan cara
pendudukan negara-negara berdaulat di Timur Tengah dan Asia Selatan.
Praktis,
pasca berakhirnya perang dingin, Amerika Serikat dan sekutunya menjadi
satu-satunya polisi dunia. Namun pasca peristiwa 11 September 2001, atau
lebih dikenal dengan peristiwa 9/11 melalui kampanye Presiden George W.
Bush yang disebut “Perang Melawan Teror”, telah mengubah seluruh
diskusi tentang relasi Islam dan Dunia Barat. Mulai saat itu, Amerika
Serikat mulai menghadapi penyeimbang baru yakni gerakan Islam Politik di
seluruh dunia
Imbas
dari kampanye “Perang Melawan Teror”, tidak hanya Al-Qaeda yang menjadi
target, banyak gerakan Islam yang dianggap radikal, dan dicurigai
berafiliasi dengan Al-Qaeda juga terkena imbasnya. Tidak hanya itu,
gerakan Islam Politik yang tidak ada hubungan dengan Al-Qaeda-pun ikut
diberangus.
Akibatnya,
terjadi ‘balasan’ dari gerakan Islam yang dilabeli pihak Barat dengan
aksi “terorist” oleh kelompok fundamentalis. Kelompok ini dianggap oleh
Amerika dan Sekutunya berusaha mengembalikan peradaban Islam dan memakai
Islam sebagai basis politik perlawanan.
Dari
gambaran diatas, para analis konservatif barat kemudian dengan mudahnya
memutar ulang klise orientalis klasik bahwa peristiwa 9/11 adalah
dimulainya perang melawan kebangkitan Islam Politik. Anggapan tersebut
seolah dikuatkan dengan tesis Samuel Huntington, yang berpendapat ada
perbedaan budaya yang mendalam antara Islam dan Dunia barat, termasuk
dalam politik. Pertanyaannya, benarkah analisis tersebut?
Menurut
Deepa Kumar, Profesor Studi bidang Media dan Timur Tengah dari Rutgers
University, New York, Teori Samuel Huntington tidaklah benar. Dalam
buku Deepa Kumar yang berjudul “Islam Politik: Sebuah Analisis Marxis”,
peristiwa 9/11 yang dilakukan oleh militan Islam, harus di analisa dari
materialisme atas sejarah, atau yang secara umum di kenal dengan
materialisme historis, yang merupakan penerapan dialektika materialisme
tentang evolusi masyarakat manusia Karl Marx.
Deepa
Kumar berpendapat, penafsiran Materialisme historis (Historical
Materialism) dapat melihat perkembangan sejarah masyarakat, tanpa
terkecuali pada Islam. Perkembangan peradaban Islam, tidak selalu
berlandaskan pada nilai ajaran, namun dipengaruhi pula oleh kondisi
meterial yang mengiringi.
Dalam
pengantar Buku Deepa Kumar tersebut, Coen Husain Pontoh Mahasiswa Ilmu
Politik City University Of New York (CUNY), memberikan paparan secara
singkat tentang materialisme historis dan metode Marx. Husain Pontoh
menyatakan Kumar berhasil mendemonstrasikan perangkat materialisme
historis dalam kemunculan Islam politik. Ada tiga poin pandangan Deepa
Kumar terkait Islam Politik dari sisi analisis Marxian. Pertama, tesis
tentang menyatunya agama dan politik dalam Islam sebagai sesuatu yang
alamiah tidaklah benar. Kedua, konsekuensi dari tesis itu, maka Islam
politik merupakan akibat dari situasi politik kontemporer. Ketiga, kelas
menengah sebagai basis utama dari kalangan Islam politik. Ketiga poin
itu, beranjak pada materialisme historis, bahwa sejarah terjadi bukan
dari dalam (gagasan) manusia itu sendiri, tetapi dari kondisi luaran
(kondisi-kondisi material) membentuk manusia yang menyejarah.
Menurut
Kumar, berpijak pada kondisi-kondisi material, analisis terhadap
perkembangan sejarah masyarakat Islam memunculkan keterpisahan berbagai
peran. Pada saat Nabi Muhammad SAW masih hidup , semua peran utuh
berada pada diri Nabi Muhammad SAW, baik urusan agama, sosial, ekonomi,
budaya dan politik. Pasca Nabi wafat, muncul beragam konflik. Mulai dari
siapa menjadi pengganti beliau, terpecahnya Islam menjadi beberapa
mazhab dan aliran, Islam dalam masa Khalifah yang sering berganti,
sampai pada masa kemunduran peradaban Islam di Eropa. Pasca Nabi
Muhammad SAW wafat itulah peran mulai terpisah, antara agama dan
politik.
Kumar
memaparkan, keterpisahan antara agama dan politik, juga disebabkan oleh
semakin luasnya wilayah penguasaan Islam. Akibat dari beragamnya suku
bangsa yang memeluk Islam, maka dibutuhkan serangkaian aturan hukum
untuk diterapkan kepada seluruh umat Islam secara seragam yang disebut
dengan Syariah. Ulama kemudian ditugaskan untuk memformulasikan hukum
Syariah tersebut. Peran Ulama, meski dibawah kekuasaan pemimpin,
khalifah atau sultan, namun keberadaanya berdiri pada posisi yang
berbeda. Namun, keterpisahan yang dimaksud bukan berarti secara tegas,
atau de facto dalam bahasa Kumar. Berbeda halnya dengan Barat,
pemisahan antara domain agama dan peran negara adalah hal yang berdiri
sendiri, tidak ada kaitannya, atau disebut juga dengan konsep
sekularisme (pemisahan agama dari politik negara).
Pasca
runtuhnya Daulah Islamiyah Ottoman Turki dan perang dunia kedua,
Gerakan Islam Politik kembali bangkit. Menurut Kumar, ada tiga Faktor
yang melatarbelakangi kebangkitan dan meluasnya pengaruh Islam Politik.
Pertama,
Intervensi dan dominasi Imperialisme Amerika Serikat dan sekutunya.
Kedua, kegagalan dan kotradiksi internal dari Nasionalisme sekuler dan
kiri Stalinis yang menciptakan kekosongan politik, dan Ketiga,
perkembangan krisis ekonomi di beberapa negara yang menunjukan metode
kapitalis tidak mampu memberikan solusi bagi kesejahteraan ummat Islam,
yang kemudian kaum Islamis melalui jaringan sosial mereka yang luas
mampu menawarkan solusi “Islami”, dan jaringan Islam politik berkembang
pesat karena didukung oleh kelas menengah Islam terdidik perkotaan dan
seksi-seksi lain yang non-kelas.
Dari
analisi Kumar tersebut, materialisme historis secara telak menghantam
analisa barat dan kaum Islam Liberal seperti Jaringan Islam Liberal
(JIL) di Indonesia, yang melihat perkembangan politik Islam yang pesat
akibat dari penafsiran yang sempit dan Zumud atas Kitab Suci Al-Qu’an
dan hadist nabi. Menurut Kumar, dengan materialisme historis, dapat
menjelaskan kebangkitan Islam Politik dengan melihat kondisi-kondisi
material yang melatari kebangkitan tersebut.
Berbeda
dengan kalangan orientalis Barat dan JIL, yang menyatakan kebangkitan
Islam politik karena sebuah cita-cita utopis kembalinya Islam seperti
pada masa Rosulullah karena gagasan para ulama atau tokoh Islam Politik
dengan mengabaikan aspek ekonomi politiknya. Wajar jika mereka (JIL)
menawarkan tafsir yang berbeda (Tafsir liberal) sebagai upaya untuk
meredam bangkit dan meluasnya pengaruh Islam politik. Sehingga kita
melihat ada perang tafsir antara JIL dan Islam Politik.
Sementara
itu Kumar menyarankan kepada para ideolog kiri atau Marxian, untuk
menghadapi kebangkitan Islam politik adalah ikut serta melawan
imperialisme Amerika Serikat yang menjadi penyebab utama munculnya Islam
politik. Marxian harus mengakomodasi perlawanan imperialisme dan
neo-liberalisme di negara-negara mayoritas berpenduduk Islam (Contoh
kasus di Mesir, Irak, Afghanistan, Syiria dan Palestina, bahkan
Indonesia). Dengan begitu, kalangan Marxis-Stalinis ataupun Maoist
dapat dianggap berperan penting bagi kebangkitan Islam. Hanya dengan
begitulah, menurut Kumar gerakan kiri bisa menjadi kekuatan pembebas
sejati. Namun secara prinsipil, para Marxian tetap harus menentang
keberadaan Islam Politik karena wataknya yang anti kiri, anti demokrasi
dan anti sekularisme.
Kesimpulan
penulis: Kebangkitan Islam Politik pada akhirnya secara diametral akan
selalu mendapat tantangan baik dari pihak barat jika tidak memahami
secara dialektika historisnya, atau secara tersembunyi dari pihak
lainnnya dalam hal ini para pengusung ide-ide Marxian, Lenimisme atau
Maoisme, walaupun seolah-olah mereka membantu Islam politik. Bahkan
Soekarnoisme-pun pernah memberangus gerakan Islam politik pada era orde
lama. Ada kecenderungan saat ini, bandul politik Islam di Indonesia
bergerak ke tengah, apakah untuk meminimalisir benturan politik, atau
hanya untuk kepentingan pragmatis politik semata. Hal tersebut butuh
kajian yang berbeda dan lebih lanjut.
Muhammad Ridwan, Citizen Reporter di www.mediawarga.info
Berdomisili di Bandar Lampung.
Berdomisili di Bandar Lampung.
Referensi: Buku Islam Politik : Sebuah Analisis Marxis
0 komentar