Slider

Kolom Muhammad Ridwan

PNPM Mandiri

Media Sosial

Review Film

Berita

Kuliner

» » » Capaian Pengurangan Kemiskinan di Era SBY


Angka kemiskinan di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kurun waktu 2004-2014 terus mengalami penurunan. Dari 16.7 persen di tahun 2004, angka kemiskinan bisa ditekan menjadi 11 % pada tahun 2014.  Berarti, ada penurunan kemiskinan sebesar, 5,7 Persen selama kurun waktu 10 tahun masa pemerintahan SBY.

Namun, Ratio Gini atau indeks kesenjangan antara si Kaya dan si Miskin memang sedikit meningkat. Menurut data BPS tahun 2005 Ratio Gini Indonesia sekitar 0,363 dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 0,413. Data BPS bisa di Klik disini.

Angka kemiskinan memang selalu menjadi opini publik. Berhasil atau tidaknya suatu Pemerintahan oleh rakyat, salahsatunya di ukur dengan berhasil-tidaknya suatu rezim dalam menurunkan angka kemiskinan.  Kadang masih ada nada sumbang ketika angka-angka kemiskinan dirilis oleh pemerintah SBY. Khususnya Ekonom yang tidak sependapat dengan kriteris kemiskinan Pemerintah.

Seperti Ekonom Hendri Saparini menyatakan—mengutip Kompas, Edisi 2 Juli 2008—Menurut beliau, menggunakan beras sebagai barometer pengukur angka kemiskinan merupakan penyederhanaan persoalan. Walaupun ada program raskin (beras untuk keluarga miskin—Red) dan bantuan langsung tunai guna menutupi kebutuhan 2.000 kalori per hari untuk konsumsi, tapi hal tersebut belum memperhitungkan kualitas hidup masyarakat.


Disparitas Angka Kemiskinan

Terjadi kontroversi ketika Bank Dunia meluncurkan laporan kemiskinan yang berjudul "Era Baru Pengentasan Kemiskinan di Indonesia" yang mengungkapkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia hampir separuhnya dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan BPS waktu itu mengeluarkan data kemiskinan sekitar 39,1 juta orang.

Ekonom Bank Dunia DR. Vivi Alatas dalam artikelnya di majalah Tempo Edisi 21 Januari 2007 menguraikan jawaban dari dua pertanyaan besar yang selama ini menjadi kontroversi seputar data kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Dua pertanyaan tersebut adalah, kenapa data kemiskinan Bank Dunia jauh lebih tinggi dibandingkan data BPS? Kriteria kemiskinan apa yang digunakan oleh Bank Dunia?

Dalam tulisan DR. Vivi Alatas tersebut terungkap, Bank Dunia mengunakan dua kriteria dalam menentukan garis kemiskinan. Pertama, menggunakan garis kemiskinan nasional yang didasarkan pada pola konsumsi 2.100 kalori per hari. Kedua, garis kemiskinan internasional berdasarkan PPP (purchasing power parity) 1 dolar AS dan 2 dolar AS. Bank Dunia menggunakan keduanya, masing-masing untuk tujuan analisis yang berbeda.

Garis kemiskinan nasional yang dikeluarkan BPS yang berdasarkan pola konsumsi digunakan Bank Dunia untuk menganalisis profil kemiskinan, penyebab kemiskinan dan telaah strategi atau program antikemiskinan di sebuah negara. Namun, parameter kemiskinan yang digunakan oleh suatu negara tidak bisa digunakan oleh negara lain. Oleh karena itu, dibuatlah garis kemiskinan internasional dalam bentuk nilai tukar PPP 1 dolar AS dan 2 dolar AS, sebagai standar internasional yang bisa diterapkan di seluruh negara.

Menurut DR. Vivi Alatas, Nilai tukar PPP 1 dolar AS mempunyai pengertian berapa rupiah yang diperlukan untuk membeli barang dan jasa, yang bisa dibeli dengan satu dolar di Amerika Serikat. Nilai tukar ini dihitung secara berkala dari data harga dan kuantitas konsumsi sejumlah barang dan jasa untuk setiap negara. Dari perhitungan tersebut ditemukan bahwa 7,4% penduduk Indonesia mengkonsumsi di bawah PPP US$ 1 per hari dan 49% di bawah PPP 2 dolar AS per hari.

Angka 49% tingkat kemiskinan inilah yang jadi kontroversi, namun angka ini jauh lebih baik dibandingkan tahun 1999, dimana sekitar 75% masyarakat Indonesia mengkonsumsi di bawah PPP 2 dolar AS per hari.

Dibandingkan dengan negara tetangga, tingkat kemiskinan PPP 1 dolar AS Indonesia sebanding dengan Cina (8%), sedikit di bawah Filipina (9,6%) dan sedikit di atas Vietnam (6,2%). Namun, untuk posisi dengan standar PPP 2 dolar AS per hari, Indonesia jauh lebih tinggi (49%), Bandingkan dengan konsumsi PPP 2 dolar AS Cina (26%), Filipina (39,3%) dan Vietnam (39,7%).

Kita bisa analisis bersama dari data di atas bahwa Indonesia memiliki perbedaan yang sangat besar dari tingkat kemiskinan di bawah PPP 1 dolar AS (7,4%) dengan tingkat kemiskinan di bawah PPP 2 dolar AS (49%).

Menurut DR. Vivi Alatas, besarnya selisih prosentase nilai PPP 1 dolar AS dengan nilai PPP 2 dolar AS mencerminkan tingginya kerentanan kemiskinan di Indonesia. Sejumlah besar penduduk Indonesia, hidup diantara PPP 1 dolar AS dan PPP 2 dolar AS atau setara dengan PPP 1,5 dolar AS per hari. Oleh karena itu, kenaikan harga BBM dan inflasi, gagal panen karena perubahan iklim, bencana alam, sakitnya anggota keluarga dan kehilangan pekerjaan dapat dengan mudah menjatuhkan rakyat Indonesia ke bawah garis kemiskinan.

Program Pro Rakyat SBY

Untuk mengatasi besarnya kerentanan penduduk Indonesia akan kemiskinan, Presiden SBY meluncurkan berbagai Program Pro Rakyat miskin yang dibagi menjadi beberapa Klaster. Pada tahun 2009, program pro rakyat miskin tersebut disempurnakan dan dituangkan dalam suatu masterplan yang disebut Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI).

Program ini langsung menyasar masyarakat bawah yang mengalami kemiskinan ekstrim di Indonesia. Sebagai program andalan, MP3KI ini juga bertujuan untuk mengimbangi rencana besar pembangunan ekonomi yang terintegrasi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Fokus kerja MP3KI tertuang dalam sejumlah program:

Pertama, penanggulangan kemiskinan eksisting Klaster I, berupa bantuan dan jaminan atau perlindungan sosial. Lalu di Klaster II adalah pemberdayaan masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Klaster III tentang Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (KUMKM), dan Klaster IV adalah program murah untuk rakyat.  

Kedua, transformasi perlindungan dan bantuan sosial yang di implemetasikan dengan diluncurkannya Program Jaminan Kesehatan Nasionan (JKN) yang di kelola oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). 

Ketiga, pengembangan livelihood, pemberdayaan, akses berusaha & kredit, dan pengembangan kawasan berbasis potensi lokal. 

Dari implementasi MP3KI ini memang belum bisa memenuhi target yakni, turunnya angka kemiskinan dibawah dua digit, masih jauh dari target Presiden SBY searah dengan target Milennium Developmet Goals (MDGs), yakni menurunkan angka kemiskinan sampai “separuhnya” pada 2014, atau dari 16 persen menjadi dibawah  8 persen. Berdasarkan data Worldfactbook, Klik disini. Tercatat pada rentang 2004 – 2012  Indonesia mampu menurunkan laju rata-rata penurunan jumlah penduduk miskin per tahun sebesar 0,8%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian Negara lain semisal Kamboja, Thailand, Cina, dan Brazil yang hanya berada dikisaran 0,1% per tahun. Bahkan India mencatat hasil minus atau terjadi penambahan penduduk miskin. Salahsatu kendala terbesar dalam mengurangi angka kemiskinan adalah inflasi yang sangat tinggi akibat kebijakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM), imbas dari resesi ekonomi global.

Dalam pidato kenegaraan terakhir di Gedung MPR/DPR, tanggal 15 Agustus 2014, Presiden SBY mengungkapkan ketidak puasannya atas capaian penanggulangan kemiskinan tersebut, namun disatu sisi beliau bangga dengan pertumbuhan kelas menengah Indonesia menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.

"Walaupun terus menurun, kita tetap tidak puas dengan angka ini, dan kita akan terus berupaya mencapai angka nol kemiskinan absolut di bumi Indonesia," kata SBY, mengutip laman Pikiran-rakyat.com (15/8).

Menurut Presiden SBY efektivitas pembangunan nasional tidak semata-mata diukur dari pengentasan kemiskinan. Ukuran lain yang juga penting menurutnya adalah pertumbuhan kelas menengah.

Pada abad ke-21, Presiden SBY yakin kemajuan Indonesia bukan diukur dari jumlah konglomerat, namun diukur dari jumlah kelas menengah. Kalau jumlah kelas menengah terus membesar, berarti kemiskinan otomatis menurun. Logikanya, menurut SBY, yang masuk menjadi kelas menengah adalah dari golongan miskin yang berhasil mengubah nasibnya.

"Buruh tani yang menjadi pemilik lahan, karyawan menjadi manajemen, si miskin yang menjadi pengusaha, dosen atau pejabat," kata SBY.

Memang, tak ada gading yang tak retak dalam 10 tahun pemerintahan SBY, capaian penanggulangan kemiskinan di Pemerintahan SBY belum optimal, masih banyak yang harus disempurnakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK. Namun menurunkan angka kemiskinan sampai 5,6 persen bukan hal yang mudah.  Kita harus apresiasi prestasi-prestasinya di berbagai bidang. Presiden  SBY telah menjadikan Indonesia negara demokrasi terbesar ketiga dunia dengan Jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masuk peringkat sepuluh besar dunia. Serta di G-20, kekuatan ekonomi Indonesia ada di peringkat 15 dengan pendapatan 5.500 US dollar, tertinggi sejak Indonesia merdeka di tahun 1945 . Terima kasih Pak SBY!

Oleh : Muhammad Ridwan
Konsultan PNPM Mandiri Perkotaan Provinsi Lampung

Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?