Catatan Harian (20 Oktober 2014) - Proses
transisi kepemimpinan nasional yang kita saksikan pada hari Senin, 20 Oktober 2014 benar-benar
menyejukan. Cukup sudah politik Ken Arok dipraktekan bangsa ini.
Tahun
1967 sejarah mencatat Bung Karno dilengserkan melalui Sidang Istimewa
(SI) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), akibatnya dendam kusumat
keluarga besar Bung Karno dan pendukungnya masih tersimpan sampai
sekarang.
Tahun
1998, Mahasiswa bersorak sorai (termasuk saya) menyaksikan pengunduran
diri Pak Harto. Saya bisa bayangkan sakit hatinya Pak Harto, keluarga
besar dan pengikutnya sampai hari ini. Pak Habibie pun demikian,
pertanggungjawabannya tidak diterima oleh MPR-RI, mungkin Pak Habibie
juga sakit hatinya, padahal beliau orang baik dan diluar gedung MPR
sebagian Mahasiswa bersorak gembira.
Di
Era Gus Dur lebih parah lagi, Gus Dur dinistakan oleh MPR-RI dan keluar
Istana tanpa kehormatan, sakit hati Gusdur, Keluarga dan pendukungnya
masih terasa sampai sekarang. Sang Adik Gusdur, Megawati, yang khianati
Kakaknya (GusDur), akhirnya harus menelan pil pahit juga, kalah dalam
pertarungan politik dengan SBY, mantan anak buahnya. Megawati merasa
dikhianati SBY dan dendam kusumat Megawati terasa sampai sekarang.
Megawati dan SBY tidak pernah Islah.
Lalu,
di era SBY, beliau refleksi, Bangsa ini tidak akan pernah menjadi
Bangsa besar, bangsa bermartabat, bangsa yang dihormati dan disegani
negara lain, jika transisi kepemimpinan selalu penuh olak dan tidak ada
rekonsiliasi nasional. Oleh karenanya, pada hari ini SBY menginisiasi
sebuah acara yang elegan untuk menyambut Presiden Baru dan melepas
Presiden lama. Ada haru terselip dalam kalbu. Tidak terasa, bukan hanya
mata SBY yang berkaca-kaca, tapi mata saya juga berkaca-kaca.
#TerimakasihSBY. #SelamatbekerjaJokowi.
Dari Status FB Muhammad Ridwan :
0 komentar