Oleh: Muhammad Ridwan
Media Warga Online - Buya Syafii Maarif dalam bukunya yang berjudul “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” menjelaskan dengan gamblang tentang perbedaan pandangan politik dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) beberapa bulan menjelang Kemerdekaan Indonesia.
Media Warga Online - Buya Syafii Maarif dalam bukunya yang berjudul “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin” menjelaskan dengan gamblang tentang perbedaan pandangan politik dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) beberapa bulan menjelang Kemerdekaan Indonesia.
Isu
paling krusial dalam perdebatan tersebut, ialah pembicaraan tentang
ideologi negara Indonesia yang bakal lahir itu. Isu politis-ideologis
ini yang kemudian berdampak panjang dalam perjalanan sejarah modern
Indonesia.
Menurut Buya Syafii Maarif, seandainya Dr. Rajiman tidak mengajukan pertanyaan tentang Philosofiishe Grondslag
(landasan filofis) bagi negara yang hendak didirikan itu, mungkin
situasinya menjadi lain.
Apalagi menurut kesaksian Bung Hatta, sebagian besar anggota BPUPKI tidak mau menjawab pertanyaan itu karena khawatir akan mengundang perpecahan dan memakan waktu lama.
Apalagi menurut kesaksian Bung Hatta, sebagian besar anggota BPUPKI tidak mau menjawab pertanyaan itu karena khawatir akan mengundang perpecahan dan memakan waktu lama.
Barangkali disamping khawatir, sebagaian besar memang tidak siap berfilsafat dalam situasi yang sangat mendesak tersebut.
Kemudian,
menurut Buya Syafii berdasarkan kesaksian Bung Hatta, yang paling siap
menjawab pertanyaan DR. Rajiman adalah Bung Karno dan Muhammad Yamin
dari golongan nasionalis dan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah yang
mewakili golongan Islam.
Bung
Karno dan M. Yamin mengajukan Lima Prinsip Dasar yang kemudian di kenal
dengan Pancasila. Sedangkan Ki Bagus Hadikusumo mengajukan Islam
sebagai dasar negara. Usulan Ki Bagus merupakan antitesis terhadap
usulan Soekarno-Yamin.
Dengan
munculnya dua usul yang berbeda, maka bermulalah “pergumulan” pertama
antara Pancasila dan Islam di sidang BPUPKI. Setelah bergumul selama 21
hari, akhirnya pada 22 Juni 1945 suatu sintesis dan kompromi politik
dapat diwujudkan antara dua pemikiran yang berbeda. Sintesis inilah yang
kemudian dikenal dengan PIAGAM JAKARTA.
Dalam
PIAGAM JAKARTA, Pancasila diterima sebagai Dasar Negara, tapi urutan
silanya mengalami perubahan letak. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
ditempatkan sebagai Sila Pertama atau Sila Mahkota, namun diberi kalimat
pengiring “Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.
Piagam
Jakarta adalah hasil rumusan Panitia Sembilan yang beranggotakan:
Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Wahid Hasyim, Abdul Kahar
Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Abikusno, dan A.A. Maramis (Tokoh
Kristen Moderat).
Dari
sembilan orang tersebut, empat diantaranya mewakili golongan Islam,
yakni Wahid Hasyim mewakili NU, Abdul Kahar Muzakkir mewakili
Muhammadiyyah, Agus Salim mewakili PI-Penyedar dan Abikusno dari
Syarekat Islam.
Namun,
kompromi politik tersebut hanya bertahan 57 hari. Karena pada tanggal
18 Agustus 1945, anak kalimat pengiring Sila Pertama yaknia “Dengan
Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus
dari Pembukaan UUD 1945.
Menurut kesaksian Bung Hatta yang diceritakan kepada Buya Syafii Ma’arif, hal ini terjadi karena ada perubahan komposisi wakil Islam dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Anggota
PPKI yang semula 21 orang, namun atas usul Bung Karno ditambah menjadi
27 orang. Dari jumlah itu, wakil Islam hanya diwakili oleh tiga orang,
yakni Ki Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah, Wahid Hasyim dari NU dan
Kasman Singodimedjo dari Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).
Walaupu
golongan Islam diwakili tiga orang, mereka sangat gigih memperjuangkan
agar rangkaian kalimat “Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” di Sila Pertama dalam pembukaan UUD 1945 tidak
dihapus. Bahkan Bung Hatta menceritakan kepada Buya Syafii Maarif, Bung
Karno kewalahan menghadapi argumentasi dari Ki Bagus Hadikusumo, konon beliau sempat menggembrak meja di hadapan Bung Karno.
Namun, kemudian Bung Hatta yang mewakili masyarakat
Minang dan Teuku Muhammad Hassan dari Perwakilan masyarakat Aceh
menengahi perdebatan tersebut. Atas bujukan Bung Hatta dan Teuku
Muhammad Hasan, akhirnya Ki Bagus Hadikusumo melunak dengan pertimbangan
Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Hanya
dalam tempo 15 menit, kalimat pengiring Sila Pertama “Dengan Kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dicoret dari
Pembukaan UUD 1945.
Dan sejarah mencatat pergumulan ideologis tersebut tidak berhenti sampai disidang BPUPKI, terus berlangsung sampai sekarang. Yang paling sengit adalah
dalam sidang Majelis Konstituante di Bandung antara tahun 1956 sampai
1959, yang mengakibatkan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Melalui
Dekrit, Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante hasil Pemilu
1955 dan dimulainya Demokrasi Terpimpin. Dalam Demokrasi Terpimpin,
sejarah mencatat dibubarkannya Partai Islam Masyumi karena dianggap anti
Manipol Usdek dan dituduh terlibat pemberontakan PRRI di Sumatera, yang
kemudian diketahui hal tersebut merupakan intrik dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Perdebatan Ideologi antara Islam dan Pancasila saat ini sebenarnya tidak harus terjadi. Kadang,
ada juga yang masih memandang Pancasila secara ekstrem, sangat
mengkultuskan, seolah-olah Pancasila sudah harga mati. Kemudian dilain
pihak, ada juga kalangan Islam yang masih memandang Pancasila tidak
sesuai dengan “basic” ajaran Islam tentang tauhid, padahal Ketuhanan
Yang Maha Esa menggambarkan ajaran monoteisme.
Pancasila
tidak boleh sekedar jargon seperti jaman Orde Baru.
Yang paling penting adalah implementasi dari kelima sila tersebut.
Sudahkah sesuai harapan bangsa Indonesia?
Bapak
pendiri bangsa melahirkan Piagam Jakarta sebagai konsensus nasional.
Ketika anak kalimat pengiring sila pertama dihilangkan, merupakan jiwa
besar dari para pemimpin Islam waktu itu seperti Ki Bagus Hadikusumo,
Muhammad Hatta, Kasman Singodimedjo, Wahid Hasyim dan lain-lain.
Jadi,
saat inipun tetap harus diperlukan jiwa besar dalam menghadapi
perbedaan pandangan ideologis-politis. Jangan terlalu alergi terhadap
kelompok yang masih menginginkan dikembalikannya Piagam Jakarta pada
teks awalnya. Seolah-olah mereka dianggap anti
Pancasila dan anti NKRI, bahkan secara ekstream memandang mereka sebagai
bagian gerakan fundamentalis.
Kita
juga harus mewaspadai gerakan ultra-nasionalis yang secara ekstrem dan
sempit memandang Pancasila, namun dalam kesehariannya tidak
menggambarkan seperti mencintai Pancasila.
Empat
pilar bangsa yang ditawarkankan Almarhum Taufik Kiemas, yakni :
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika sudah sangat tepat.
Dimana Islam-pun sebagai agama mayoritas, merupakan entitas yang sangat
penting bagi Bangsa Indonesia. Ummat Islam juga harus mulai didengar dan
diperhatikan aspirasi keyakinannya. Jangan sampai persoalan kecil,
seperti aspirasi Polisi
Wanita (Polwan) untuk pakai hijab dimentahkan karena pandangan sempit
mengenai ideologi Pancasila.
Muhammad Ridwan
Blogger
0 komentar