Media Warga Online
- Pemilu Tahun 2004 merupakan momentum penting bagi Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
TNI tidak lagi berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setelah
Pemilu 2004. Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen pada tahun 2003, semua anggota MPR-RI harus melalui pemilihan dan tidak ada wakil rakyat berdasarkan pengangkatan.
Dengan
adanya amandemen tersebut, TNI terpaksa “angkat kaki” dari Perlemen.
Maka, sejak tahun 2004 tidak ada lagi Fraksi TNI/ABRI di MPR-RI.
Keluarnya TNI dari Parlemen, merupakan tuntutan dari gerakan reformasi
yang menghendaki TNI/ABRI keluar dari politik praktis. Istilah populer
dikalangan aktifis Mahasiswa tahun 1998, “TNI/ABRI harus kembali ke
barak”. Maka sejak itu, konsep dwifungsi TNI/ABRI sudah tidak ada lagi.
Dwifungsi TNI/ABRI
Dwifungsi
adalah suatu doktrin di lingkungan Militer Indonesia yang menyebutkan
bahwa TNI memiliki dua tugas, pertama menjaga keamanan dan ketertiban
negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran
ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam
pemerintahan.
Konsep
dwifungsi TNI pertama kali muncul dalam bentuk konsep "Jalan Tengah"
yang diusulkan pada tahun 1958 oleh Jendral A.H. Nasution, pimpinan
TNI-AD pada saat itu kepada Presiden Soekarno untuk memberikan peluang
bagi peranan terbatas TNI di dalam pemerintahan sipil.
Menurut
Jenderal Besar A.H. Nasution, dwifungsi TNI adalah memberikan cukup
saluran pada tentara bukan sebagai organisasi, tetapi sebagai
perorangan-perorangan yang menjadi eksponen daripada organisasi, (untuk)
turut serta menentukan, kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat
yang tinggi.
Namun, pada masa pemerintahan Pak Harto,
konsep ini mengalami perubahan tujuan awalnya. Dwifungsi era rezim Orde
Baru menjadikan TNI secara organisatoris (bukan perorangan) menduduki
jabatan-jabatan strategis di lingkungan pemerintahan seperti Menteri,
Gubernur, Bupati, serta lembaga-lembaga legislatif dalam wadah Fraksi
ABRI/TNI. Akibatnya TNI/ABRI menjadi sangat kuat sebagai penyokong utama
rezim Orde Baru yang cenderung otoriter terhadap kelompok atau kekuatan
politik yang tidak sejalan dengan Pak Harto.
Dwifungsi
TNI/ABRI secara perlahan-lahan dihapuskan menyusul runtuhnya rezim Orde
Baru. Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000, disepakati untuk menghapus
doktrin ini yang akan dimulai setelah Pemilu 2004.
TNI di Masa Reformasi
Ada
fenomena menarik pada Pemilu 2004 dan 2009, walaupun dwifungsi TNI
tidak ada lagi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berlatarbelakang
militer terpilih sebagai Presiden, dan banyak purnawirawan TNI yang
berdiaspora atau menyebar ke berbagai partai politik untuk bertarung
mendapatkan kursi di Parlemen.
Terkait
peran TNI dalam kehidupan sosial politik di Indonesia, penulis jadi
ingat dalam sebuah seminar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Bandung, medio tahun 2001 yang menghadirkan Kepala Staf Teritorial
(Kaster) TNI saat itu, Letjend Agus Widjoyo. Dalam presentasinya, Agus
Widjoyo memaparkan peran TNI dalam kepemimpinan nasional pasca 1998
dengan sebuah grafik yang menggambarkan tren penurunan peran TNI dalam
kepemimpinan nasional periode 1998-2003.
Dengan analisanya, Agus Widjoyo meramalkan, tren penurunan tersebut hanya sementara. Diprediksi
paling cepat 5 - 10 tahun, kepemimpinan nasional akan kembali ke TNI.
Prediksi Agus Widjoyo ternyata benar, bahkan lebih cepat. Tahun 2004,
melalui Presiden SBY, TNI kembali jadi pemimpin nasional, walaupun
kapasitas SBY waktu itu sebagai purnawirawan TNI. Apakah ini strategi
baru TNI agar terus berkiprah dalam politik praktis?
Peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS)
Dr Kusnanto Anggoro berpendapat, terpilihnya SBY yang berlatarbelakang
militer dan menyebarnya purnawirawan TNI ke partai politik adalah gejala
biasa, karena dalam masa transisinya Indonesia menganut sistem hibrida.
Berbeda dengan pengalaman negara Amerika Latin, seperti Argentina, yang
memutus secara tegas antara rezim militer dan sipil. Menurut Dr
Kusnanto Anggoro, jika masih ada pemikiran lama atau “konservatif”
dibawa oleh pensiunan TNI ke parlemen dan eksekutif, yang akan terjadi
adalah pemerintahan otoritarian semu (quazi-otoritarian government).
Namun, kekhawatiran banyak pihak akan kembalinya quazi-otoritarian government
dengan terpilihnya Presiden SBY, serta banyaknya purnawirawan TNI
menjadi anggota legislatif, sampai saat ini tidak terbukti. TNI sebagai
institusi tidak lagi tergoda dalam politik praktis.
Setelah
menarik diri dari Parlemen pada tahun 2004, TNI terus berbenah diri.
Dimasa awal Pemerintahan Presiden SBY, reformasi di internal TNI
dimulai. Dalam rentang tahun 2005 – 2013 TNI lebih fokus kepada
peningkatan profesionalisme personil dan modernisasi alutsista.
Saat ini, kinerja
TNI meski tak selalu berjalan mulus, dinilai sudah membaik. Reformasi
di TNI telah menghasilkan tentara yang lebih profesional. Namun, ujian
TNI ada di tahun 2014. Di tahun politik tersebut, netralitas TNI akan
kembali diuji. Semua pihak berharap TNI bisa menjaga netralitasnya dan
tidak masuk sedikitpun dalam ranah politik.
Kini,
berkat reformasi internal, kekuatan TNI mulai disegani kembali oleh
negara tetangga dengan ‘Panen” alutsista terbaru yang mulai berdatangan
sejak tahun 2004, setelah sekian lama “puasa” belanja alutsita modern.
Tahun 2013, lembaga
analisa militer Global Firepower merilis kekuatan Indonesia berada di
urutan 15 dunia sejak Juni 2013. Sebelumnya, tahun 2011 lalu Indonesia
masih berada di peringkat 18 besar dunia. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan program MEF (Minimum Essensial Force) atau pembangunan kekuatan dasar minimum yang dicanangkan Presiden SBY.
Semoga TNI lebih profesional dan modern. Dirgahayu TNI ke-68.
Oleh: Muhammad Ridwan
Referensi:
1. www.csis.or.id
2. id.wikipedia.org
0 komentar