Belajar Dari Pengalaman Pribadi
Saya hanya orang biasa saja, terlahir di sebuah desa di kaki bukit Hambalang pada 2 Maret 1978. Namanya Desa Tarikolot,
terletak dikawasan Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor. Terlahir dari
orangtua berdarah Sunda yang sederhana. Saya menghabiskan masa remaja di
Bogor sampai menamatkan pendidikan jenjang SMU pada tahun 1997.
Kemudian, ditahun yang sama “Ngumbara” di “Paris Van Java”
Kota Bandung untuk kuliah di Kampus Bumi Siliwangi Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) sampai tahun 2003, dan pernah terlibat haru
birunya gerakan mahasiswa tahun 1998. Ditengah pengembaraan saya di
Bandung, saya diberikan ujian dengan meninggalnya sang ibunda tercinta.
Kejadian di penghujung tahun 1999, tepatnya bulan Desember, merupakan titik balik kehidupan pribadi saya ketika harus menghadapi kenyataan sang Ibunda tercinta meninggal dunia di rumah sakit ketika melahirkan calon si Bungsu, atau calon anak ke empat orangtua saya. Ironisnya ibunda meninggal tidak tertolong nyawanya karena faktor tidak sanggup membayar biaya operasi caesar.
Kami kehilangan dua orang sekaligus, sang Ibunda dan adik kami yang belum sempat dilahirkan ke dunia pada usia kandungan Sembilan bulan. Goncangan
jiwa akibat kesedihan mendalam, tak pelak menerpa saya dan adik-adik
saya. Namun tidak lama, kami semua bangkit untuk terus melanjutkan
kehidupan. Belajar dari pengalaman tersebut, saya berjanji akan selalu membantu masyarakat miskin yang membutuhkan bantuan.
Merajut Asa Masyarakat Melalui Program Penanggulangan Kemiskinan
Tahun 2003, akhirnya saya pulang ke Bogor. Namun, hanya kesedihan yang saya lihat kembali di kampung halaman. Ternyata pasca
gerakan reformasi, dimana saya terlibat langsung bersama teman-teman di
Bandung, kondisi keluarga dan masyarakat tidak jauh lebih baik.
Kemiskinan, carut marut masalah sosial di lingkungan, menjadi
pemandangan sehari-hari.
Kadang melihat kondisi masyarakat demikian, membuat
saya frustasi. Saya menganggap, REFORMASI itu hanya omong kosong. Angka
kemiskinan semakin tinggi, dan korupsi semakin merajalela.
Sampai kemudian, suatu hari saya bergabung sebagai relawan masyarakat di sebuah program pemberdayaan masyarakat yang bernama Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) atau sekarang dikenal dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.
Walaupun dengan keyakinan yang masih pesimis, namun kalimat lebih baik berbuat, daripada mengumpat, akhirnya saya aktif sebagai relawan masyarakat yang tergabung dalam Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) “Paguyuban Warga Desa Tarikolot”. Tidak sampai disitu, saya pun dipercaya menjadi Koordinator Forum BKM Kecamatan Citeureup dan Sekretaris Forum BKM Kabupaten Bogor.
Selama menjadi anggota BKM “Paguyuban Warga Desa Tarikolot”, beberapa prestasi sempat kami torehkan. Diantaranya turut merintis pendirian Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa Tarikolot yang kami namakan SMP Islam Ar-Ridho pada tahun 2004. Sekolah tersebut merupakan SMP pertama yang ada di
desa kami. Mayoritas siswanya dari kalangan yang tidak mampu, gurunya
pun sukarelawan, tidak diberikan gaji di tahun pertama, termasuk saya
sendiri. Kami pun sukses melaksanakan berbagai kegiatan infrastruktur, ekonomi dan sosial di Desa Tarikolot.
|
Kemudian pada tahun 2005, Saya bersama relawan yang tergabung dalam BKM, menjadi perintis program kemitraan dengan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Unicef dalam rangka program peningkatan kualitas tenaga kependidikan dan rintisan Program Manajemen Berbasis Sekolah MBS tingkat Sekolah Dasar (SD). Dilanjutkan dengan kerjasama pelatihan Pembelajaran PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif, efektif dan Menyenangkan) tingkat SD, yang kemudian hari menjadi model untuk program nasional diseluruh SD saat ini.
Selanjutnya, BKM kami dipercaya Depdiknas menjadi Fasiliatator penyalur dana Block Grant ke SD dan Madrasah Ibtidaiyyah (MI) yang terpilih.
Atas
keberhasilan tersebut, saya diundang untuk menceritakan cerita sukses
kemitraan BKM dengan Depdiknas, diantaranya di Kabupaten Cirebon. Saya
diberikan kehormatan menjadi Narasumber dalam acara sosialisasi program
kemitraan Depdiknas dengan BKM se-Kabupaten Cirebon pada medio 2004.
Kemudian, sekitar bulan November 2004 saya diundang ke Bappenas untuk menghadiri sebuah diskusi panel dengan Tema “Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat” yang menghadirkan Dr. Linda Ibrahim (Sosiolog UI) dan Dr. Lula Kolopaking (Peneliti IPB) di Kantor Bappenas, Jakarta.
Pada
26 Desember 2004 saya mendengar tragedi tsunami yang memilukan di Aceh,
waktu itu saya sedang mengikuti sebuah pelatihan di Desa Taman Sari
Kabupaten Bogor sebagai anggota Forum BKM Kabupaten Bogor. Kebetulan hadir para petinggi dari Kementerian Pekerjaan Umum, Kosultan Manajemen Pusat (KMP) P2KP, Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) P2KP Jawa Barat serta para pengambil kebijakan dari Bank Dunia.
Kami semua yang hadir terhenyak mendengar kabar tersebut. Saya tidak menduga dikemudian hari, orang-orang yang berkumpul di Desa Taman
Sari tersebut akan dikumpulkan kembali di Bumi Serambi Mekkah sebagai
pelaku-pelaku lapangan untuk membantu warga Aceh yang sedang tertimpa
musibah.
Akhirnya
saya tergerak untuk membantu warga Aceh. Saya pun diberikan kesempatan
untuk menginjakan kaki di Serambi Mekkah pasca MoU Helshinski yang di sepakati pada bulan Agustus 2005. Saya bertugas sebagai Senior Fasilitator masyarakat untuk program P2KP di Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten terparah yang terkena dampak tsunami. Saya bertugas di Aceh sampai tahun 2007.
Tanpa
diduga saya pun bertemu jodoh dengan gadis kelahiran Lhokseumawe dan
mempersuntingnya pada tahun 2008. Medio tahun 2007 saya putuskan pulang
kampung untuk menjadi pendamping masyarakat di program yang sama di
Kabupaten Bogor sampai akhir Mei 2011.
Kemudian pada awal Juni 2011, saya kembali menyeberang ke Pulau Sumatera. Kali ini pindah tugas ke Provinsi Serambi Sumatera, Sai Bumi Ruwa Jurai, Lampung. Di Provinsi ujung selatan Sumatera ini saya diberikan amanah untuk menduduki posisi sebagai Asisten Kota (Askot) Partnership (Kemitraan) dengan wilayah tugas di Kabupaten Lampung Utara dam Kota Metro. Kemudian pada tahun 2012 sampai sekarang, saya diamanahi sebagai Askot Mandiri di Kabupaten Lampung Utara.
Banyak pengalaman diraih ketika menjadi Askot atau Fasilitator masyarakat di Kabupaten Lampung Utara. Kabupaten tersebut termasuk daerah tertinggal di Provinsi Lampung. Tingkat Kemiskinannya masih tinggi. Suka duka menjadi pendamping masyarakat di Kabupaten tertua di Lampung ini memberikan pelajaran berharga dalam hidup saya.
Relawan dan Fasilitator Masyarakat Sebagai “Agent Of Change”
Di dunia pemberdayaan masyarakat ini, akhirnya menemukan dunia saya. Walaupun tertatih, sudah sepuluh tahun lebih saya
geluti bidang pemberdayaan masyarakat ini. Saya yakini, proses
perubahan yang ada ditengah masyarakat akar rumput saat ini, sedikit
banyak ada kontribusi dari Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang secara nasional
sudah dilaksanakan diseluruh pelosok Desa dan Kecamatan di Indonesia.
Awalnya program pemberdayaan masyarakat ini dimunculkan
atas kegelisahan beberapa anak muda jebolan universitas terbaik, yang
melihat kondisi rakyat dan bangsa semakin terpuruk pasca reformasi.
Rakyat miskin di pedesaan sangat tidak berdaya.
Akhirnya,
dengan bimbingan para senior, visi anak-anak muda itu, di-ejawantahkan
dalam sebuah program pemberdayaan masyarakat. Dengan memobilisasi ribuan
relawan dan Fasiliatator Masyarakat yang memiliki paradigma yang sama,, akhirnya mereka pun membangun Indonesia.
Tanpa publikasi luas, bergerak diakar rumput. Para Relawan dan Fasilitator masyarakat fasilitasi proses demokratisasi di desa-desa, melakukan advokasi good governance dan edukasi anti korupsi kepada rakyat, jauh sebelum ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka dampingi masyarakat baik tua, muda, untuk jadi agent of change di desa-desa di seluruh pelosok Indonesia.
Ada satu momentum yang juga berkesan bagi saya ketika menjadi relawan masyarakat, yakni ketika diberikan kesempatan mempublikasikan langkah-langkah senyap mereka selama ini di tingkat nasional. Melalui
sebuah konfrensi nasional, akhinya penanggulangan kemiskinan berbasis
pemberdayaan masyarakat disepakati menjadi model pembangunan masyarakat
di Indonesia, yang sekarang kita kenal dengan PNPM Mandiri.
Pada April 2005, saya diberikan kehormatan sebagai narasumber atau panelis dalam “Konferensi Nasional Penangggulangan Kemiskinan Dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milennium” bersama Dr. Vivi Alatas (Ekonom Bank Dunia), Dr. Hamid Muhammad (Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas). Konferenesi ini diselenggarakan oleh Bank Dunia dan Kantor Menko Kesra bertempat di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta.
Dalam
konferensi tersebut juga membahas masa depan Aceh pasca tsunami, maka
lahirlah sebuah konsorsium multi nasional untuk rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh yang dipimpin oleh Bank Dunia.
Pada akhirnya setelah 15 tahun berkiprah, PNPM Mandiri yang merupakan metamorfhosis dari program P2KP dan PPK (Program Pengembangan Kecamatan) mampu
mengubah Indonesia. Memang belum ada data yang akurat, berapa
kontribusi PNPM Mandiri dalam proses demokratisasi di pedesaan,
peningkatan kesejahteraan rakyat dan pelaksanaan good governance.
Namun, tetap diakui, ribuan fasilitator masyarakat dan ratusan ribu relawan masyarakat yang berdedikasi tinggi, secara tidak langsung mereka telah mengubah Indonesia pasca reformasi, usaha mereka memang tanpa publikasi luas, namun hasilnya bisa dirasakan. Mereka telah menjadi Agent Of Change ditengah masyarakat.
Saya rasa inilah proses reformasi sebenarnya, masyarakat belajar cepat daripada pemimpinnya, yang kadang seperti keledai yang jatuh ke lubang yang sama, terlibat hukum, korupsi, perempuan dan lain-lain.
Selama 15 tahun pelaksanaan Program Pemberdayaan ini, Indonesia melakukan perubahan secara “silent”. Relawan masyarakat yang berdedikasi tinggi bersama para fasilitator masyarakat itu telah mengubah Indonesia dengan cara yang senyap. Mereka telah melakukan reformasi yang sunyi.
0 komentar