....Supriyadi
absen di hari pertama sekolah pasca masa orientasi siswa (MOS).
“Kenapa Supriyadi tidak masuk”? Tanya saya. ”Dia belum punya seragam
dan buku Pak! malu katanya,” jawab teman-temannya kompak....
“I have a
dream, a dream of the time when the evil of prejudice and segregation
will vanish. It is a dream deeply rooted in the American dream, a dream
that my four little children will one day live in a nation, where they
will not be judged by the color of their skin, but by the content of
their character.” (Dr. Martin Luther King, Jr)
Kutipan diatas merupakan pidato terkenal dari Martin Luther King, pada rapat
raksasa kaum Afro Amerika, 28 Agustus 1963, di Lincoln Memorial,
Washington DC. Martin Luther King, adalah seorang pejuang Hak Asasi
Manusia asal Amerika Serikat (AS).
AS
memiliki sejarah hitam tentang diskriminasi ras, menyebabkan
tertindasnya kaum Afro Amerika di berbagai bidang, termasuk bidang
pendidikan.
Impian seorang King adalah dihapuskannya segala bentuk
diskriminasi terhadap warga Afro Amerika. King menamakannya dengan ‘The
American Dream’, atau impian warga Amerika.
Bagaimana dengan Indonesia? Apa impian Bangsa Indonesia? Jawabannya,
sudah terekam sejak 69 tahun silam, tepatnya 17 Agustus 1945.
Apakah di usia 69 tahun ini, Bangsa Indonesia sudah mencapai impiannya? Semua pasti sepakat manjawab: Belum!
Iya, belum tercapainya impian Indonesia, bisa kita lihat di lingkungan
sekitar kita. Secara sederhana, dapat penulis lihat dari sosok Supriyadi
dan Totong, siswa kelas 7 SMP Islam Ar-Ridho, Desa Tarikolot,
Kabupaten Bogor. Kebetulan, Penulis pernah mengajar di SMP tersebut
pada tahun 2005.
Di hari pertama sekolah pasca masa orientasi siswa
(MOS), Supriyadi absen.
“Kenapa Supriyadi tidak masuk”? Tanya saya.
”Dia belum punya
seragam dan buku Pak! malu katanya,” jawab teman-temannya kompak.
Di hari kedua, Supriyadi juga tidak hadir.
Akhirnya, setelah dibujuk, akhirnya Supriyadi bersedia masuk, walaupun seragamnya tidak seperti yang lain. Supriyadi memakai
kemeja putih SD dengan celana panjang warna hitam.
SMP Islam Ar-Ridho adalah SMP yang didirikan oleh masyarakat dan
Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) ‘Paguyuban Warga Desa Tarikolot’
pada 4 Juni 2005, sebagai suatu ikhtiar dari masyarakat dan LKM akan
pendidikan menengah di Desa Tarikolot. Kebetulan waktu itu belum ada
satupun Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa saya.
Melalui beberapa kali Rembug Warga Desa yang melibatkan
Pemerintahan Desa, LPM, BPD dan Tokoh Masyarakat yang difasilitasi LKM,
akhirnya, SMP Islam Ar-Ridho disosialisasikan pada saat peresmian
gedung baru Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Raudhatussalam.
Rata-rata, siswa SMP Islam Ar-Ridho adalah murid dari kalangan yang
tidak mampu, bahkan ada siswa yang seharusnya duduk di kelas 1 SMU,
baru tahun 2005 bisa menikmati bangku sekolah menengah pertama.
Contohnya Totong, di kelas, perawakannya paling tinggi dan
besar, walaupun kulitnya hitam, giginya bersih kalau tersenyum.
Totong sudah lama ingin sekolah. Namun, karena ketidakberdayaan orang
tuanya menyekolahkannya, terpaksa dia tidak bisa melanjutkan sekolah.
Selama tiga tahun, Totong membantu orang tuanya dengan berjualan
gorengan. Keberadaan SMP Islam Ar-Ridho yang terletak di dekat
rumahnya, membuat Totong kembali bersemangat untuk ke sekolah, walaupun
terlambat tiga tahun.
Pada awalnya, tahun 2005, jumlah murid SMP Islam Ar-Ridho hanya 20
orang, semuanya berasal dari keluarga yang tidak mampu. Tim pengajar di
SMP Islam ini, terdiri dari 3 anggota LKM (termasuk saya) dan 9 orang
guru yang peduli.
SMP Islam Ar-Ridho ini, dipimpin oleh Drs. Riyadi Alwi, yang merupakan
anggota LKM waktu itu. Gedung yang dipakai pun masih menumpang di
Gedung MI Raudhatussalam, sehingga, SMP Islam Ar-Ridho, merupakan
sekolah yang melaksanakan proses belajar di siang hari. Namun sekarang, SMP Islam Ar-Ridho sudah memiliki gedung
sendiri yang sangat representatif dengan 400 murid.
Apa yang dilakukan LKM ‘Paguyuban Warga Desa Tarikolot’ dan masyarakat
pada tahun 2005, hanya sebuah ikhtiar kecil demi mewujudkan impian
dari beberapa keluarga yang ingin agar anaknya tetap sekolah. Modal
utama pendirian SMP ini adalah idealisme dan tanggung jawab moral
masyarakat dan LKM akan pentingnya perkembangan pendidikan di Desa
Tarikolot.
Hal
ini juga merupakan jawaban dari kegundahan beberapa tokoh masyarakat
dan anggota LKM, bahwa masih ada diskriminasi dan ketidakberdayaan bagi
keluarga yang tak mampu untuk menyekolahkan anaknya, seperti yang
menimpa Supriyadi dan Totong di atas (Waktu itu belum ada Program BOS).
Mereka hanya dua anak tunas bangsa yang berusaha menemukan ‘Impian
Indonesianya’ di masa depan, minimal, suatu saat nanti menjadi generasi yang berguna
bagi desanya.
Selamat Hari Pendidikan Nasional.
02 Mei 2013.
My Blogs