Slider

Kolom Muhammad Ridwan

PNPM Mandiri

Media Sosial

Review Film

Berita

Kuliner

Palestina, Arab Spring dan Obama

Palestina kembali bergolak. Secara brutal, Israel menyerang Jalur Gaza yang dikuasai faksi Hamas pada tanggal 14 November 2012 atau sehari menjelang Tahun Baru Islam 1434 Hijriyyah. Sedikitnya 38 warga Palestina di Gaza tewas dalam serangan udara Israel, termasuk Komandan Militer Hamas, Ahmad Al-Jabari yang menjadi target utama serangan.

Syahidnya Al-Jabari, kehilangan besar bagi Hamas. Al-Jabari merupakan pejabat Hamas paling senior yang dibunuh, sejak Israel menyerbu Gaza empat tahun lalu. Ahmad Al-Jabari hanya salah satu nama dalam daftar panjang pemimpin Palestina yang dibunuh oleh Israel. Sebelumnya petinggi gerakan Fatah/PLO, Abu Jihad, Yaseer Arafat, dan Petinggi Hamas, Yahya Ayyas serta Syaikh Ahmad Yassin telah dibunuh oleh Israel.

Pan-Islamisme, Nasionalisme Sekuler dan Politik Islam.


Partai Bulan Bintang (PBB) Salah Satu Partai Islam Peserta Pemilu 2014 di Indonesia

Kemenangan Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin (IM) dalam pemilihan Presiden Mesir dianggap sebagai momentum kebangkitan Islam Politik di Timur Tengah. Kemenangan IM menegaskan munculnya kekuatan Islamis pascarevolusi Arab Spring. Bukan hanya IM di Mesir yang berhasil memenangi pemilu demokratis. Partai politik Islam di negeri Arab lain juga menuai sukses setelah mengalami penindasan panjang. Pemilu Tunisia, tempat bermula Arab Spring, juga dimenangi Partai Ennahda dengan 41 persen. Warga Maroko juga memenangkan Partai Keadilan dan Pembangunan dengan 107 di antara 395 kursi. di Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan atau AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) yang Islami pimpinan Erdogan kembali mencatat sejarah fenomenal. AKP memenangi pemilu 12 Juni 2011 dengan suara mayoritas.

Kelompok Islamis lain sebelumnya juga menang di beberapa kawasan. Hamas memenangi pemilu Palestina, mengalahkan Fatah yang lebih didukung Amerika Serikat dan sekutunya. Di Aljazair, pemilu pernah dimenangi partai islam (FIS), tapi dibatalkan militer dan menimbulkan pertumpahan darah panjang. Hingga kini Aljazair belum stabil.

Cita-cita politik yang lebih Islami mempesona lanskap politik Arab kontemporer. Kemudian hipotesanya adalah, apakah kemenangan partai politik islam di Timur Tengah adalah proses alamiah dari masyarakat dunia Islam?

Untuk menjawab hipotesa tersebut, kita harus kembali ke awal perkembangan Islam.

Hubungan antara Negara dan Islam pada masa rosulullah SAW adalah integral tidak terpisahkan. Rosulullah adalah pemimpin negara sekaligus pemimpin agama. Namun sejak Rosulullah meninggal dan kepemimpinan digantikan oleh Para sahabat, mulai terjadi konflik di internal umat Islam. Khususnya setelah wafatnya Khalifah Ali dengan munculnya kelompok Islam Sunni dan Syiah. 

Walau terjadi perpecahan di internal umat Islam, namun disatu sisi wilayah Islam semakin luas dibawah Dinasty Khalifah penerusnya. Dengan luas wilayah Islam yang terdiri dari beragam etnik dan budaya, dibutuhkan aturan main untuk mengatur negara dan masyarakatnya yang disebut dengan syariah. Kebutuhan syariah ini kemudian memunculkan kalangan akademisi religius yang disebut dengan Ulama, yang tugasnya memformulasikan syariah tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Oleh sebab itu, Khalifah dalam masa tersebut cenderung sebagai pemimpin negara sedangkan permasalahan syariah Islam diserahkan kepada Ulama. Pembagian tugas tersebut berlangsung sampai tahun 1924 ketika sistem kekhalifahan dihapus oleh tokoh nasionalis sekuler Turki, Mustafa Kemal Ataturk.


Seiring dengan meredupnya masa kejayaan Islam dan meluasnya kolonialisme ke wilayah kesultanan/kerajaan Islam, maka paham sekularisme mulai menggantikan Islam sebagai dasar kehidupan masyarakat muslim mulai abad 19. Kolonialisme telah membentuk kelas menengah sekuler terdidik oleh barat. Seperti program politik etis di Indonesia yang memunculkan tokoh-tokoh nasionalis sekuler seperti dr. Sutomo dan dr. Cipto Mangunkusumo yang membentuk organisasi Budi Utomo, organisasi nasionalis sekuler pertama di Indonesia. Dan sejarah Indonesia telah mencatat munculnya tokoh nasionalis yang menjadi Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. 

Tidak hanya di Indonesia, tokoh-tokoh nasionalis sekuler didikan barat ini kemudian menduduki berbagai posisi penting di pemerintahan yang semakin menggerus basis tradisional dari kekuasaan atau pengaruh Ulama.Semakin meluasnya pengaruh sekuler dalam tatanan masyarakat Islam, membuat resah kalangan menengah terdidik Islam yang sholeh. Sehingga pada abad 19 muncul sebuah gerakan “kembali kepada nila-nilai Islam” atau disebut gerakan Islam revivalis. Tokoh kunci gerakan Islam revivalis adalah Jamal al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rashid Ridho. Dengan gerakan salafiyah, tokoh Islam diatas berupaya mendakwahkan ajaran untuk kembali pada tradisi religius asli dimasa-masa Nabi Muhammad SAW. Kemudian terinspirasi dari tulisan Rashid Ridho, Hasan al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin (persaudaraan muslim) di Mesir pada tahun 1928. 

Kemudian di India muncul tokoh Islam bernama Sayyid Abul Ala Maududi yang mendirikan Jama’ah Al Islamiyyah ditahun 1941 karena terinspirasi Hasan al-Banna. Tidak terkecuali di Indonesia, pada awal abad 20 terbentuk organisasi Islam Muhammadiyyah oleh K.H. Ahmad Dahlan yang terinspirasi gerakan Islam revivalis di Timur Tengah. Gerakan Islam revivalis diseluruh kawasan Islam saat itu disebut juga dengan gerakan Pan – Islamisme. Namun sampai meletusnya perang dunia ke-2, gerakan Pan – Islamisme gagal membebaskan negara-negara Islam dari belengu kolonialisme. 

Kegagalan Pan – Islamisme ini dikarenakan sampai pertengahan abad 20, masyarakat Muslim cenderung bergerak ke arah sekularisme, modernisme bahkan marxisme. Gerakan Pan – Islamisme minim dukungan dari kaum muslim sendiri. Contoh sederhana, bagaimana pergulatan ideologi dalam proses pembentukan negara Indonesia. Sejarah mencatat proses dihilangkannya tujuh kata dalam sila pertama Pancasila dalam UUD 1945. Walaupun sebagian ahli sejarah menjelaskan bahwa hilangnya tujuh kata dalam sila pertama Pancasila hasil konsensus Nasional pendiri bangsa. Namun secara tersirat, hal tersebut menandakan gerakan Pan-Islamisme tidak mendapat dukungan di Indonesia. 

Setelah perang dunia ke-2 selesai, nasionalisme radikal merupakan filosofi politik yang dominan di negara-negara terjajah, mulai dari Indonesia sampai Aljazair. Indonesia dengan kepemimpinan Ir. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kemudian di Timur Tengah muncul gerakan nasionalisme Arab radikal dengan Pemimpin kuncinya adalah Gamal Abdel Nasser dari Mesir serta Muhammad Mossadegh dari Iran. 

Dari tiga pemimpin nasionalis diatas secara jelas ingin memisahkan antara Islam dan negara dengan cara menekan kelompok-kelompok Islam revivalis. Soekarno berupaya memberangus kelompok Masyumi, Gamal Abdel Nasser menekan dengan segala cara kelompok Ikhwanul Muslimin dan Ahmad Mosaadegh berupaya menekan para Mullah dan Kelompok Islam Syiah. 


Namun, disinilah uniknya kelompok Islam revivalis, disaat mereka ditekan habis-habisan olek kelompok nasionalis radikal, kelompok Islam ini bersedia bekerjasama dengan Amerika Serikat melalui CIA untuk menggulingkan pemimpin nasionalis. Contohnya di Indonesia, ketika beberapa tokoh Masyumi ikut bergabung dengan pemberontak PRRI di Sumatera. Sudah jadi rahasia umum bahwa CIA adalah dalang pemberontakan PRRI. Demikian juga di Mesir, Amerika berusaha mendongkel Gamal Abdel Nasser dengan bantuan Ikhwanul Muslimin yang mendapat dukungan Arab Saudi. Hal yang sama dilakukan untuk mendongkel Ahmad Mosaddegh di Iran dengan memberikan dukungan kepada para Mullah diantaranya Ayatolah Khomenei dan Ayatolah Kashani. Namun usaha kudeta terhadap Pemimpin nasionalis radikal tersebut tidak berhasil.

Seriring berjalannya waktu, pemimpin Nasionalis radikal dinegara-negara mayoritas berpenduduk Islam khusunya di Timur Tengah tidak mampu menjawab persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi rakyatnya, yaitu dibidang ekonomi atau kesejahteraan rakyat. Kepercayaan rakyat terhadap Pemimpin nasionalis di Timur Tengah semakin menurun ketika pada tahun 1970-an banyak negara jatuh dalam krisis ekonomi. 


Dalam tataran politis, jatuhnya Yerusalem dan sebagian wilayah Arab dalam perang enam hari dengan Israel semakin melemahkan legitimasi nasionalisme Arab. Kemudian berkecamuknya perang Irak, Afghanistan serta berbagai konflik di dunia Islam yang tidak bisa diselesaikan oleh Pemimpin Nasionalis dan monarki memunculkan rasa frustasi dikalangan dunia Islam khususnya kelas menengah terdidik yang diwakili oleh Mahasiswa. Rasa frustasi dan ketidakpuasan dibidang politik, ekonomi, hukum dan kehidupan sosial di Timur Tengah, membuat kelas menengah yang dimotori mahasiswa menjadi condong ke arah ideologi Islam. Pemuda terdidik dan kelas menengah perkotaan menjadi basis utama kader gerakan Islamis. 

Mulai tahun 1990-an basis Islam bergeser menggarap kelas sangat miskin yang dirugikan langsung oleh praktek Pemerintahan yang korup dan tidak adil. Di kelas masyarakat miskin inilah gerakan Islam memberikan berbagai program/layanan sosial yang menyentuh langsung persoalan rakyat. Rakyat miskin dan marginal menjadi basis masa yang besar bagi gerakan Islam.

Kalau kita analisa, revolusi yang terjadi di Timur Tengah diawali dengan isu ketidakpuasan kelas miskin kepada Pemerintah, kemudian isu tersebut ditangkap oleh kelas menengah untuk mengorganisir massa dalam rangka menumbangkan rejim yang berkuasa. Gerakan tersebut sangat mirip ketika Soeharto dilengserkan pada tahun 1998. Nyaris kelompok Islam berkuasa di Indonesia waktu itu. Namun reformasi yang dijalankan oleh kelompok Islam di Indonesia sangat prematur karena belum terkonsolidasikannya kekuatan-kekuatan Islam serta masih kuatnya ABRI/TNI sebagai penjaga ideologi sekuler.

Dari paparan diatas, tulisan ini bisa menjawab hipotesa diatas bahwa bangkitnya politik Islam bukan proses alamiah dalam masyarakat Muslim, akan tetapi ada faktor lainnya yaitu pemerintahan yang otoriter dan korup, adanya kesenjangan sosial ekonomi serta merosotnya legitimisasi politik baik di dalam maupun luar negeri pasca perang enam hari dengan Israel tahun 1967 serta peristiwa 11 September 2001.

Wallahu’alam.

(Di olah dari berbagai sumber).
 

Gadis Cantik itu Bernama Indonesia


 
Sangat menarik untuk dikaji pasca pertemuan Menteri Luar negeri negara-negara ASEAN di Phnom Penh Kamboja pada 8 -13 Juli 2012, yang membahas konflik di Laut China Selatan (LCS). Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah ASEAN, gagal mencapai kata sepakat dalam code of conduct tentang status Laut China Selatan (LCS).

Melihat gelagat hubungan Indonesia – China semakin mesra dibidang pertahanan, tentu saja membuat “cemburu” pihak lain, menganggap hal tersebut sebagai ancaman. Siapa yang Cemburu tersebut? tentu saja Amerika Serikat dan sekutu tradisionalnya Australia. Langkah cepat pun di ambil Paman Sam untuk mengamankan Indonesia supaya tidak jatuh kedalam pelukan China.

Dalam kunjungan Obama ke Indonesia, Amerika Serikat (AS) menawarkan hibah 2 skuadron Pesawat Tempur F-16, upgrade pesawat hercules, dilanjutkannya kerjasama dengan KOPASSUS, latihan militer bersama dan lain sebagainya. Kemudian yang lebih menghebohkan adalah keberhasilan Australia untuk mengajak Indonesia membawa jet tempur mutakhirnya Sukhoi S-30 ke Darwin untuk mengikuti latihan gabungan angkatan udara terbesar 6 negara yaitu Australia, AS, Indonesia, Singapura,

Gagalnya kesepakatan negara-negara ASEAN dianggap sebagai kemenangan Lobi dan Intelejen China dalam memecah belah suara ASEAN. Dalam terminologi yang lain, ini adalah kemenangan diplomasi China yang berhasil “meretakkan” keharmonisan ASEAN yang dikenal santun dan kompak dalam menyikapi berbagai masalah di regional.

Dilihat dari sejarah hubungan China – Kamboja, tidak kaget kalau pertemuan di Phnom Penh jadi antiklimak. di Asia Tenggara, Kamboja adalah sahabat tradisional China yang memang sudah lama menjadi sekutu dekatnya Selain Myanmar, Laos dan Vietnam.

Indonesia pun tidak luput dari upaya lobby, agar lebih merapat ke China. Kunjungan SBY ke China baru-baru ini memulai babak baru hubungan Indonesia – China. Dalam kunjungan SBY ke China, disepakati kerjasama bilateral diberbagai bidang antara Indonesia - China. Salah satunya dibidang pertahanan. Berita yangmenghebohkan adalah kerjasama alih teknologi Rudal China kepada Indonesia. Bahkan Militer China dan Indonesia baru-baru ini melakukan latihan bersama Pasukan Khusus ber tajuk “Sharp Knife II/2012” di Jinan Shandong China selama dua minggu. Cina pun berbaik hati dengan memberikan akses bagi pilot-pilot Sukhoi TNI AU untuk berlatih dengan menggunakan simulator Sukhoi di China.

Melihat gelagat hubungan Indonesia – China semakin mesra dibidang pertahanan, tentu saja membuat “cemburu” pihak lain, menganggap hal tersebut sebagai ancaman. Siapa yang Cemburu tersebut? tentu saja Amerika Serikat dan sekutu tradisionalnya Australia. Langkah cepat pun di ambil Paman Sam untuk mengamankan Indonesia supaya tidak jatuh kedalam pelukan China.

Dalam kunjungan Obama ke Indonesia, Amerika Serikat (AS) menawarkan hibah 2 skuadron Pesawat Tempur F-16, upgrade pesawat hercules, dilanjutkannya kerjasama dengan KOPASSUS, latihan militer bersama dan lain sebagainya. Kemudian yang lebih menghebohkan adalah keberhasilan Australia untuk mengajak Indonesia membawa jet tempur mutakhirnya Sukhoi S-30 ke Darwin untuk mengikuti latihan gabungan angkatan udara terbesar 6 negara yaitu Australia, AS, Indonesia, Singapura, Thailand dan Selandia Baru. Latihan ini berlangsung 27 Juli hingga 17 Agustus 2012 yang melibatkan sedikitnya 94 pesawat dan 2.200 pasukan. Belum lama berselang dalam kunjungan SBY ke Australia, disepakati hibah 4 Hercules Kepada Indonesia dari Australia yang belakangan mendapat tentangan dari DPR-RI karena biaya upgrade pesawatnya terlalu mahal dan dianggap sebagai balas jasa atas Grasi Corby oleh SBY.

Kawasan ASEAN saat ini seolah ada dibawah pengaruh dua negara adidaya, China – AS. ASEAN saat ini secara nyata telah diajak untuk memilih dua jalan yang saling merenggangkan satu sama lain. Tentu saja hal tersebut akan kontra produktif terhadap cita-cita terbentuknya ASEAN Community pada tahun 2015.

Anggota negara ASEAN yang masih mampu netral adalah Indonesia, meski secara jelas kita bisa memahami bahwa telah terjadi rebutan pengaruh antara AS dan China untuk merangkul Indonesia.

Indonesia punya nilai strategis untuk menyeimbangkan dua kekuatan antara China – AS. Hal ini dimungkinkan karena Indonesia menganut politik luar negeri yang bebas aktif. Dari sudut geografis, posisi indonesia sangat strategis, karena bisa menjadi daerah buffer (penyangga) masing-masing pihak. Kekayaan Indonesia yang melimpah memiliki daya tawar bagi hubungan yang sejajar dengan kedua negara, dari sisi kekuatan ekonomi Indonesia adalah yang terkuat di ASEAN, kemudian Pasar Indonesia potensial untuk produk – produk dari China dan AS.

Saat ini Indonesia ibarat gadis cantik yang sedang diperebutkan dua jejaka ganteng. Dua jejaka itu rela mengunakan jurus apapun untuk meluluhkan hati sang gadis. Namun sang gadis yang sudah dewasa, tidak mudah jatuh kedalam pelukan dua jejaka tersebut.

Saling berebut pengaruh antara Cina dan AS tentu akan menggangu stabilitas ASEAN. Oleh karena itu tantangan bagi Indonesia untuk menyatukan kembali semua anggota ASEAN agar kembali ke rule of game sebagai negara anggota ASEAN. Langkah yang dilakukan Menlu Marty Natalegawa yang melakukan safari kunjungan ke negara anggota ASEAN sejauh ini menghasilkan konsensus untuk kembali ke ”jalan yang benar”. Namun ke depan situasi keretakan niscaya akan terulang jika AS terus melakukan manuver di Asia Tenggara. Bahkan rencana AS menempatkan 60% kekuatan Armada lautnya di Asia Pasifik sampai tahun 2020 membuat suasana tambah “meriang” di regional ASEAN. Tentu saja langkah progresif AS tersebut akan dibalas dengan agresivitas kehadiran kapal perang China di LCS dan langkah diplomasi bertajuk kerjasama ekonomi dan kerjasama pertahanan dengan beberapa negara ASEAN.

(Diolah dari berbagai sumber)

TANGISAN BANG HAJI, AHOK DAN PEMILIH JAKARTA.

Bandar Lampung-Fanpage FB Muhammad Ridwan.
07 Agustus 2012.
Dua hari ini seluruh media mainstream baik online, cetak dan televisi ramai memberitakan dipanggilnya Bang H. Rhoma Irama oleh Panwaslu DKI, terkait ceramahnya dianggap menyinggung SARA. Berita tersebut bertambah nilai jualnya, ketika press conference divisualkan, Bang Haji sapaan akrab Rhoma Irama menangis.

Berita menangisnya sang Raja Dangdut ini sampai juga ke Jerman, sehingga teman saya di facebook Andi Hakim membuat tulisan yang menarik dengan judul “Haji Rhoma Irama antara Syaria dan SARA” di Wall-nya. Beragam komentar muncul atas tulisan tersebut. Salah satu petikan tulisan Andi Hakim yang menarik adalah :
“Memang benar Ahok Cina dan bukan Muslim, apa yang salah dengan ujaran Bang Haji? Sebagian kita yang masih cinta rezim persona non grata ala Soeharto dengan gampang bilang: itu memicu SARA!.”
Hal senada diungkap Politisi Muda PAN Bima Arya di salah satu Media Online, “masyarakat harus hati-hati dalam mengartikan isu SARA. Belum tentu jika ada seseorang yang menyampaikan jejak rekam calon tertentu dapat dikatakan pernyataan SARA.”

Di luar benar tidaknya isu SARA dalam ceramah Bang Haji, satu hal yang pasti respon publik dari kedua belah pihak, baik pendukung Foke-Nara maupun Jokowi-Ahok menjadi sangat politis. Kasus Bang Haji mirip dengan polemik fatwa tidak bolehnya seorang perempuan menjadi pemimpin oleh sebagian ulama. Fatwa tersebut dianggap upaya menjegal Megawati menjadi RI-1. Responnya menjadi sangat politis dan memojokan keputusan fatwa tersebut.Memang tidak ada larangan di Indonesia non-Muslim menjadi seorang pemimpin, termasuk menjadi seorang Presiden. Dalam UUD 1945 Pasal 6 ayat (1) dijelaskan : “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Tidak dicantumkan harus beragama tertentu.

Namun dalam Praktek atau konvensi kenegaraan kita, memang hanya mengenal Presiden orang Indonesia asli dan beragama Islam. Dari kedelapan orang Presiden RI yang pernah menjabat, semuanya beragama Islam, bahkan pasangan Wakil Presidennya. Sebagai salah satu sumber hukum tata negara, konvensi kenegaraan yang selama ini dipraktekkan, akan menjadi rujukan utama bagi kalangan mayoritas yang akan bersikukuh bahwa Presiden adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam.

Tentu saja praktek kenegaraan diatas berimbas pula untuk praktek pemilihan pada level Gubernur atau Bupati. Ada semacam aturan tidak tertulis bahwa pemimpin di wilayah yang penduduknya mayoritas Muslim, maka pemimpin dan wakilnya harus Muslim. Aturan tidak tertulis tersebut diperkuat dengan adanya ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan seorang Muslim harus memilih pemimpin yang beragama Islam. Hal inilah yang mungkin mendorong Bang H. Rhoma Irama mengeluarkan pendapatnya dalam sebuah ceramah agama.
Munculnya Joko Widodo atau biasa disapa Jokowi memang fenomenal, program dan kebijakannya sebagai Walikota Solo mendapatkan banyak apresiasi baik dari dalam maupun luar negeri. Kemudian yang menjadi pusat perhatian yang lain adalah munculnya nama Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok sebagai pasangan Jokowi.

Basuki Tjahaja Purnama yang mempunyai nama asli Zhong Wan Xie, sebelumnya menjabat sebagai Bupati Belitung Timur pada periode 2005-2010. Ahok kala itu maju diusung dua partai gurem, yakni Partai Indonesia Baru dan Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan. Isu utama yang di usung adalah pendidikan dan kesehatan.

Baru satu setengah tahun Ahok menjabat Bupati, Tiga Pilar Kemitraan, sebuah kelompok yang dibentuk oleh Masyarakat Transparansi Indonesia, Kadin, dan Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara, mendaulatnya sebagai satu di antara dua Tokoh Antikorupsi 2006.

Prestasi pasangan Jokowi-Ahok dimasing-masing daerahnya tentu saja jadi kredit point dalam pencalonan DKI-1. Pencitraan yang dibangun pasangan ini adalah perubahan baru untuk Jakarta. Tidak percuma jargon yang diusung pasangan ini, 40% lebih pemilih Jakarta memberikan suara untuk Jokowi-Ahok pada putaran pertama.

Khusus kepada Ahok, karena beliau adalah calon wakil gubernur DKI pertama yang berasal dari keturunan, pasti ada resistensi, khususnya dari kelompok masyarakat Islam yang belum terbiasa dengan praktek kepemimpinan Non-Muslim. Tapi untuk pemilih Jakarta adalah pengecualian.
Berbicara tentang pemilih di DKI Jakarta memang unik. Kota yang multi etnik ini tidak pernah jadi basis dari satu kekuatan politik tertentu walaupun mayoritas beragama Islam.

Pada Pemilu 1955, partai Islam Masyumi cukup mendominasi hasil pemilu di Jakarta. Partai pemenang berubah setelah Orde Baru berkuasa. Golkar sebagai mesin politik penguasa saat itu dapat dikatakan sebagai ”penguasa” Jakarta. Namun PPP pernah memenangi pemilu di Jakarta. Pada pemilu pertama di era reformasi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berhasil menguasai pemilu dengan meraih 39,4 persen suara. Lalu disusul oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan meraih 17,2 persen. Namun dominasi PDI-P tidak berlangsung lama karena pada Pemilu tahun 2004 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berhasil meraih kemenangan. Meskipun corak haluannya sebagai partai Islam, tetapi ”wajah” yang ditampilkan PKS sangat berbeda dengan partai Islam lainnya.

Perpindahan pilihan parpol ini tentunya sangat situasional, tergantung kepentingan pragmatis semata. Jika pada Orde Baru PPP bisa menang, itu merupakan perlawanan terhadap penguasa s
aat itu. Demikian pula, PDI-P yang menang sesudahnya, lebih disebabkan kekecewaan pada Golkar sebagai pemenang Pemilu 1997. Namun, yang terjadi kemudian adalah kekecewaan rakyat kepada PDI-P yang dianggap tidak memenuhi janji kepada konstituen. Akibatnya, orientasi masyarakat mulai melirik partai lain yang dianggap menjanjikan. Lalu, PKS-lah yang berhasil memenangkan pemilu di Jakarta pada Pemilu 2004. Namun lagi-lagi pilihan warga Jakarta berbeda pada Pemilu 2009, Partai Demokrat berhasil menjadi Jawara di DKI.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pragmatisme politik masyarakat Jakarta yang terjadi tidak hanya pada kalangan masyarakat bawah, tetapi juga kelompok elite, seperti warga keturunan. Meski tidak memilih partai Islam, mereka akan bermain di PDI-P, Golkar, Demokrat atau pendatang baru seperti Gerindra dan Nasdem.

Sikap pragmatis masyarakat Jakarta pasti berlaku juga dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun ini. Jika warga Jakarta tidak puas dengan kepemimpinan Incumbent walapun didukung oleh banyak partai, pasti mereka akan memilih Pemimpin alternatif yang lebih menjanjikan.

Wallahu’alam.

Diolah dari berbagai sumber.