|
Partai Bulan Bintang (PBB) Salah Satu Partai Islam Peserta Pemilu 2014 di Indonesia |
Kemenangan Muhammad Mursi dari Ikhwanul
Muslimin (IM) dalam pemilihan Presiden Mesir dianggap sebagai momentum
kebangkitan Islam Politik di Timur Tengah. Kemenangan IM menegaskan
munculnya kekuatan Islamis pascarevolusi
Arab Spring. Bukan hanya IM di Mesir yang berhasil memenangi pemilu
demokratis. Partai politik Islam di negeri Arab lain juga menuai sukses
setelah mengalami penindasan panjang. Pemilu Tunisia, tempat bermula
Arab Spring, juga dimenangi Partai Ennahda dengan 41 persen. Warga
Maroko juga memenangkan Partai Keadilan dan Pembangunan dengan 107 di
antara 395 kursi. di Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan atau AKP
(Adalet ve Kalkinma Partisi) yang Islami pimpinan Erdogan kembali
mencatat sejarah fenomenal. AKP memenangi pemilu 12 Juni 2011 dengan
suara mayoritas.
Kelompok Islamis lain sebelumnya juga menang
di beberapa kawasan. Hamas memenangi pemilu Palestina, mengalahkan Fatah
yang lebih didukung Amerika Serikat dan sekutunya. Di Aljazair, pemilu
pernah dimenangi partai islam (FIS), tapi dibatalkan militer dan
menimbulkan pertumpahan darah panjang. Hingga kini Aljazair belum
stabil.
Cita-cita politik yang lebih Islami mempesona lanskap
politik Arab kontemporer. Kemudian hipotesanya adalah, apakah kemenangan
partai politik islam di Timur Tengah adalah proses alamiah dari
masyarakat dunia Islam?
Untuk menjawab hipotesa tersebut, kita harus kembali ke awal perkembangan Islam.
Hubungan antara Negara dan Islam pada masa rosulullah SAW adalah
integral tidak terpisahkan. Rosulullah adalah pemimpin negara sekaligus
pemimpin agama. Namun sejak Rosulullah meninggal dan kepemimpinan
digantikan oleh Para sahabat, mulai terjadi konflik di internal umat
Islam. Khususnya setelah wafatnya Khalifah Ali dengan munculnya kelompok
Islam Sunni dan Syiah.
Walau terjadi perpecahan di internal umat Islam,
namun disatu sisi wilayah Islam semakin luas dibawah Dinasty Khalifah
penerusnya. Dengan luas wilayah Islam yang terdiri dari beragam etnik
dan budaya, dibutuhkan aturan main untuk mengatur negara dan
masyarakatnya yang disebut dengan syariah. Kebutuhan syariah ini
kemudian memunculkan kalangan akademisi religius yang disebut dengan
Ulama, yang tugasnya memformulasikan syariah tersebut berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadist. Oleh sebab itu, Khalifah dalam masa tersebut
cenderung sebagai pemimpin negara sedangkan permasalahan syariah Islam
diserahkan kepada Ulama. Pembagian tugas tersebut berlangsung sampai
tahun 1924 ketika sistem kekhalifahan dihapus oleh tokoh nasionalis
sekuler Turki, Mustafa Kemal Ataturk.
Seiring dengan meredupnya
masa kejayaan Islam dan meluasnya kolonialisme ke wilayah
kesultanan/kerajaan Islam, maka paham sekularisme mulai menggantikan
Islam sebagai dasar kehidupan masyarakat muslim mulai abad 19.
Kolonialisme telah membentuk kelas menengah sekuler terdidik oleh barat.
Seperti program politik etis di Indonesia yang memunculkan tokoh-tokoh
nasionalis sekuler seperti dr. Sutomo dan dr. Cipto Mangunkusumo yang
membentuk organisasi Budi Utomo, organisasi nasionalis sekuler pertama
di Indonesia. Dan sejarah Indonesia telah mencatat munculnya tokoh
nasionalis yang menjadi Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno.
Tidak
hanya di Indonesia, tokoh-tokoh nasionalis sekuler didikan barat ini
kemudian menduduki berbagai posisi penting di pemerintahan yang semakin
menggerus basis tradisional dari kekuasaan atau pengaruh Ulama.Semakin
meluasnya pengaruh sekuler dalam tatanan masyarakat Islam, membuat
resah kalangan menengah terdidik Islam yang sholeh. Sehingga pada abad
19 muncul sebuah gerakan “kembali kepada nila-nilai Islam” atau disebut
gerakan Islam revivalis. Tokoh kunci gerakan Islam revivalis adalah
Jamal al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rashid Ridho. Dengan gerakan
salafiyah, tokoh Islam diatas berupaya mendakwahkan ajaran untuk kembali
pada tradisi religius asli dimasa-masa Nabi Muhammad SAW. Kemudian
terinspirasi dari tulisan Rashid Ridho, Hasan al-Banna mendirikan
Ikhwanul Muslimin (persaudaraan muslim) di Mesir pada tahun 1928.
Kemudian di India muncul tokoh Islam bernama Sayyid Abul Ala Maududi
yang mendirikan Jama’ah Al Islamiyyah ditahun 1941 karena terinspirasi
Hasan al-Banna. Tidak terkecuali di Indonesia, pada awal abad 20
terbentuk organisasi Islam Muhammadiyyah oleh K.H. Ahmad Dahlan yang
terinspirasi gerakan Islam revivalis di Timur Tengah. Gerakan Islam
revivalis diseluruh kawasan Islam saat itu disebut juga dengan gerakan
Pan – Islamisme. Namun sampai meletusnya perang dunia ke-2, gerakan Pan
– Islamisme gagal membebaskan negara-negara Islam dari belengu
kolonialisme.
Kegagalan Pan – Islamisme ini dikarenakan sampai
pertengahan abad 20, masyarakat Muslim cenderung bergerak ke arah
sekularisme, modernisme bahkan marxisme. Gerakan Pan – Islamisme minim
dukungan dari kaum muslim sendiri. Contoh sederhana, bagaimana
pergulatan ideologi dalam proses pembentukan negara Indonesia. Sejarah
mencatat proses dihilangkannya tujuh kata dalam sila pertama Pancasila
dalam UUD 1945. Walaupun sebagian ahli sejarah menjelaskan bahwa
hilangnya tujuh kata dalam sila pertama Pancasila hasil konsensus
Nasional pendiri bangsa. Namun secara tersirat, hal tersebut menandakan
gerakan Pan-Islamisme tidak mendapat dukungan di Indonesia.
Setelah
perang dunia ke-2 selesai, nasionalisme radikal merupakan filosofi
politik yang dominan di negara-negara terjajah, mulai dari Indonesia
sampai Aljazair. Indonesia dengan kepemimpinan Ir. Soekarno
memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kemudian di Timur
Tengah muncul gerakan nasionalisme Arab radikal dengan Pemimpin kuncinya
adalah Gamal Abdel Nasser dari Mesir serta Muhammad Mossadegh dari
Iran.
Dari tiga pemimpin nasionalis diatas secara jelas ingin memisahkan
antara Islam dan negara dengan cara menekan kelompok-kelompok Islam
revivalis. Soekarno berupaya memberangus kelompok Masyumi, Gamal Abdel
Nasser menekan dengan segala cara kelompok Ikhwanul Muslimin dan Ahmad
Mosaadegh berupaya menekan para Mullah dan Kelompok Islam Syiah.
Namun, disinilah uniknya kelompok Islam revivalis, disaat mereka
ditekan habis-habisan olek kelompok nasionalis radikal, kelompok Islam
ini bersedia bekerjasama dengan Amerika Serikat melalui CIA untuk
menggulingkan pemimpin nasionalis. Contohnya di Indonesia, ketika
beberapa tokoh Masyumi ikut bergabung dengan pemberontak PRRI di
Sumatera. Sudah jadi rahasia umum bahwa CIA adalah dalang pemberontakan
PRRI. Demikian juga di Mesir, Amerika berusaha mendongkel Gamal Abdel
Nasser dengan bantuan Ikhwanul Muslimin yang mendapat dukungan Arab
Saudi. Hal yang sama dilakukan untuk mendongkel Ahmad Mosaddegh di Iran
dengan memberikan dukungan kepada para Mullah diantaranya Ayatolah
Khomenei dan Ayatolah Kashani. Namun usaha kudeta terhadap Pemimpin
nasionalis radikal tersebut tidak berhasil.
Seriring
berjalannya waktu, pemimpin Nasionalis radikal dinegara-negara
mayoritas berpenduduk Islam khusunya di Timur Tengah tidak mampu
menjawab persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi rakyatnya, yaitu
dibidang ekonomi atau kesejahteraan rakyat. Kepercayaan rakyat terhadap
Pemimpin nasionalis di Timur Tengah semakin menurun ketika pada tahun
1970-an banyak negara jatuh dalam krisis ekonomi.
Dalam
tataran politis, jatuhnya Yerusalem dan sebagian wilayah Arab dalam
perang enam hari dengan Israel semakin melemahkan legitimasi
nasionalisme Arab. Kemudian berkecamuknya perang Irak, Afghanistan serta
berbagai konflik di dunia Islam yang tidak bisa diselesaikan oleh
Pemimpin Nasionalis dan monarki memunculkan rasa frustasi dikalangan
dunia Islam khususnya kelas menengah terdidik yang diwakili oleh
Mahasiswa. Rasa frustasi dan ketidakpuasan dibidang politik, ekonomi,
hukum dan kehidupan sosial di Timur Tengah, membuat kelas menengah yang
dimotori mahasiswa menjadi condong ke arah ideologi Islam. Pemuda
terdidik dan kelas menengah perkotaan menjadi basis utama kader gerakan
Islamis.
Mulai tahun 1990-an basis Islam bergeser menggarap kelas
sangat miskin yang dirugikan langsung oleh praktek Pemerintahan yang
korup dan tidak adil. Di kelas masyarakat miskin inilah gerakan Islam
memberikan berbagai program/layanan sosial yang menyentuh langsung
persoalan rakyat. Rakyat miskin dan marginal menjadi basis masa yang
besar bagi gerakan Islam.
Kalau kita analisa, revolusi yang terjadi di
Timur Tengah diawali dengan isu ketidakpuasan kelas miskin kepada
Pemerintah, kemudian isu tersebut ditangkap oleh kelas menengah untuk
mengorganisir massa dalam rangka menumbangkan rejim yang berkuasa.
Gerakan tersebut sangat mirip ketika Soeharto dilengserkan pada tahun
1998. Nyaris kelompok Islam berkuasa di Indonesia waktu itu. Namun
reformasi yang dijalankan oleh kelompok Islam di Indonesia sangat
prematur karena belum terkonsolidasikannya kekuatan-kekuatan Islam serta
masih kuatnya ABRI/TNI sebagai penjaga ideologi sekuler.
Dari
paparan diatas, tulisan ini bisa menjawab hipotesa diatas bahwa
bangkitnya politik Islam bukan proses alamiah dalam masyarakat Muslim,
akan tetapi ada faktor lainnya yaitu pemerintahan yang otoriter dan
korup, adanya kesenjangan sosial ekonomi serta merosotnya legitimisasi
politik baik di dalam maupun luar negeri pasca perang enam hari dengan
Israel tahun 1967 serta peristiwa 11 September 2001.
Wallahu’alam.
(Di olah dari berbagai sumber).