Slider

Kolom Muhammad Ridwan

PNPM Mandiri

Media Sosial

Review Film

Berita

Kuliner

» » » » TANGISAN BANG HAJI, AHOK DAN PEMILIH JAKARTA.

Bandar Lampung-Fanpage FB Muhammad Ridwan.
07 Agustus 2012.
Dua hari ini seluruh media mainstream baik online, cetak dan televisi ramai memberitakan dipanggilnya Bang H. Rhoma Irama oleh Panwaslu DKI, terkait ceramahnya dianggap menyinggung SARA. Berita tersebut bertambah nilai jualnya, ketika press conference divisualkan, Bang Haji sapaan akrab Rhoma Irama menangis.

Berita menangisnya sang Raja Dangdut ini sampai juga ke Jerman, sehingga teman saya di facebook Andi Hakim membuat tulisan yang menarik dengan judul “Haji Rhoma Irama antara Syaria dan SARA” di Wall-nya. Beragam komentar muncul atas tulisan tersebut. Salah satu petikan tulisan Andi Hakim yang menarik adalah :
“Memang benar Ahok Cina dan bukan Muslim, apa yang salah dengan ujaran Bang Haji? Sebagian kita yang masih cinta rezim persona non grata ala Soeharto dengan gampang bilang: itu memicu SARA!.”
Hal senada diungkap Politisi Muda PAN Bima Arya di salah satu Media Online, “masyarakat harus hati-hati dalam mengartikan isu SARA. Belum tentu jika ada seseorang yang menyampaikan jejak rekam calon tertentu dapat dikatakan pernyataan SARA.”

Di luar benar tidaknya isu SARA dalam ceramah Bang Haji, satu hal yang pasti respon publik dari kedua belah pihak, baik pendukung Foke-Nara maupun Jokowi-Ahok menjadi sangat politis. Kasus Bang Haji mirip dengan polemik fatwa tidak bolehnya seorang perempuan menjadi pemimpin oleh sebagian ulama. Fatwa tersebut dianggap upaya menjegal Megawati menjadi RI-1. Responnya menjadi sangat politis dan memojokan keputusan fatwa tersebut.Memang tidak ada larangan di Indonesia non-Muslim menjadi seorang pemimpin, termasuk menjadi seorang Presiden. Dalam UUD 1945 Pasal 6 ayat (1) dijelaskan : “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Tidak dicantumkan harus beragama tertentu.

Namun dalam Praktek atau konvensi kenegaraan kita, memang hanya mengenal Presiden orang Indonesia asli dan beragama Islam. Dari kedelapan orang Presiden RI yang pernah menjabat, semuanya beragama Islam, bahkan pasangan Wakil Presidennya. Sebagai salah satu sumber hukum tata negara, konvensi kenegaraan yang selama ini dipraktekkan, akan menjadi rujukan utama bagi kalangan mayoritas yang akan bersikukuh bahwa Presiden adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam.

Tentu saja praktek kenegaraan diatas berimbas pula untuk praktek pemilihan pada level Gubernur atau Bupati. Ada semacam aturan tidak tertulis bahwa pemimpin di wilayah yang penduduknya mayoritas Muslim, maka pemimpin dan wakilnya harus Muslim. Aturan tidak tertulis tersebut diperkuat dengan adanya ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan seorang Muslim harus memilih pemimpin yang beragama Islam. Hal inilah yang mungkin mendorong Bang H. Rhoma Irama mengeluarkan pendapatnya dalam sebuah ceramah agama.
Munculnya Joko Widodo atau biasa disapa Jokowi memang fenomenal, program dan kebijakannya sebagai Walikota Solo mendapatkan banyak apresiasi baik dari dalam maupun luar negeri. Kemudian yang menjadi pusat perhatian yang lain adalah munculnya nama Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok sebagai pasangan Jokowi.

Basuki Tjahaja Purnama yang mempunyai nama asli Zhong Wan Xie, sebelumnya menjabat sebagai Bupati Belitung Timur pada periode 2005-2010. Ahok kala itu maju diusung dua partai gurem, yakni Partai Indonesia Baru dan Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan. Isu utama yang di usung adalah pendidikan dan kesehatan.

Baru satu setengah tahun Ahok menjabat Bupati, Tiga Pilar Kemitraan, sebuah kelompok yang dibentuk oleh Masyarakat Transparansi Indonesia, Kadin, dan Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara, mendaulatnya sebagai satu di antara dua Tokoh Antikorupsi 2006.

Prestasi pasangan Jokowi-Ahok dimasing-masing daerahnya tentu saja jadi kredit point dalam pencalonan DKI-1. Pencitraan yang dibangun pasangan ini adalah perubahan baru untuk Jakarta. Tidak percuma jargon yang diusung pasangan ini, 40% lebih pemilih Jakarta memberikan suara untuk Jokowi-Ahok pada putaran pertama.

Khusus kepada Ahok, karena beliau adalah calon wakil gubernur DKI pertama yang berasal dari keturunan, pasti ada resistensi, khususnya dari kelompok masyarakat Islam yang belum terbiasa dengan praktek kepemimpinan Non-Muslim. Tapi untuk pemilih Jakarta adalah pengecualian.
Berbicara tentang pemilih di DKI Jakarta memang unik. Kota yang multi etnik ini tidak pernah jadi basis dari satu kekuatan politik tertentu walaupun mayoritas beragama Islam.

Pada Pemilu 1955, partai Islam Masyumi cukup mendominasi hasil pemilu di Jakarta. Partai pemenang berubah setelah Orde Baru berkuasa. Golkar sebagai mesin politik penguasa saat itu dapat dikatakan sebagai ”penguasa” Jakarta. Namun PPP pernah memenangi pemilu di Jakarta. Pada pemilu pertama di era reformasi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berhasil menguasai pemilu dengan meraih 39,4 persen suara. Lalu disusul oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan meraih 17,2 persen. Namun dominasi PDI-P tidak berlangsung lama karena pada Pemilu tahun 2004 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berhasil meraih kemenangan. Meskipun corak haluannya sebagai partai Islam, tetapi ”wajah” yang ditampilkan PKS sangat berbeda dengan partai Islam lainnya.

Perpindahan pilihan parpol ini tentunya sangat situasional, tergantung kepentingan pragmatis semata. Jika pada Orde Baru PPP bisa menang, itu merupakan perlawanan terhadap penguasa s
aat itu. Demikian pula, PDI-P yang menang sesudahnya, lebih disebabkan kekecewaan pada Golkar sebagai pemenang Pemilu 1997. Namun, yang terjadi kemudian adalah kekecewaan rakyat kepada PDI-P yang dianggap tidak memenuhi janji kepada konstituen. Akibatnya, orientasi masyarakat mulai melirik partai lain yang dianggap menjanjikan. Lalu, PKS-lah yang berhasil memenangkan pemilu di Jakarta pada Pemilu 2004. Namun lagi-lagi pilihan warga Jakarta berbeda pada Pemilu 2009, Partai Demokrat berhasil menjadi Jawara di DKI.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pragmatisme politik masyarakat Jakarta yang terjadi tidak hanya pada kalangan masyarakat bawah, tetapi juga kelompok elite, seperti warga keturunan. Meski tidak memilih partai Islam, mereka akan bermain di PDI-P, Golkar, Demokrat atau pendatang baru seperti Gerindra dan Nasdem.

Sikap pragmatis masyarakat Jakarta pasti berlaku juga dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun ini. Jika warga Jakarta tidak puas dengan kepemimpinan Incumbent walapun didukung oleh banyak partai, pasti mereka akan memilih Pemimpin alternatif yang lebih menjanjikan.

Wallahu’alam.

Diolah dari berbagai sumber.

Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?