Slider

Kolom Muhammad Ridwan

PNPM Mandiri

Media Sosial

Review Film

Berita

Kuliner

» »Unlabelled » Elektabititas Partai Islam dan Kompatibilitas Demokrasi

Tingkat elektabilitas Partai politik Islam diprediksi menurun pada Pemilu 2014. Hal tersebut berdasarkan jajak pendapat yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Bulan Oktober 2012. Diprediksi suara gabungan partai berbasis pemilih Islam yakni PAN, PKS, PPP dan PKB tinggal 21%.

Survei LSI itu dilakukan pada 1-8 Oktober 2012, melibatkan 1.200 responden di 33 provinsi, dengan tingkat kesalahan sekitar 2,9 persen.

Dari bukti-bukti empiris, memang terjadi trend penurunan perolehan suara Partai Islam. Pada Pemilu pertama tahun 1955, Partai Islam menjadi kampium di Indonesia dengan perolehan suara sebesar 43,7 persen, kemudian menurun pada Pemilu 1999 menjadi 36,8 persen, naik sedikit menjadi 38,1 persen pada Pemilu 2004, dan Pemilu 2009 kembali menurun menjadi 25,1 persen.

Faktor Penyebab Turunnya Elektabilitas Partai Islam.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan menurunnya dukungan terhadap partai Islam dilihat dari faktor sosiologis dan ideologis, diantaranya:

Pertama, Islam di Indonesia lebih bersifat kultural. Kesolehan individu seseorang tidak selalu kompatibel dengan aspirasi politiknya. Hal itu tidak terlepas dari peran pembatasan peran Islam di ranah politik semasa orde baru, tapi menciptakan proses santrinisasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, seperti yang dilakukan M. Natsir dan Buya Hamka dengan gerakan dakwahnya, Cak Nur dan Gus Dur dengan pemikiran Islam liberalnya, Amin Rais dan BJ. Habibie dengan proses santrinisasi dikalangan teknokrat dan cendekiawan, serta NU dan Muhammadiyyah dengan gerakan pendidikannya.

Menurut Platzdasch (2009), santrinisasi orientasi dan perilaku masyarakat Muslim menjadi alasan parpol-parpol nasionalis tidak lagi bersikap netral terhadap isu-isu keagamaan. Hal tersebut dibuktikan dengan dibentuknya sayap-sayap keagamaan di partai-partai Nasionalis seperti Lembaga Baitul Muslimin di PDI-P dan Majlis Dzikir di Partai Demokrat. Kemudian terjadi kanalisasi aspirasi kelas menengah terdidik Islam perkotaan oleh Partai Nasionalis, seperti yang dilakukan Partai Demokrat dengan merangkul Kader muda NU, HMI dan Muhammadiyyah, yang notabene sudah memiliki infrastruktur kuat kedalam kepengurusan Partai.


Proses santrinisasi di pedesaan dan perkotaan yang kemudian di akomodasi oleh Partai Nasionalis, tentu saja menggerus basis suara partai Islam.

Kedua, ada dua faktor yang saling berkelindan di internal Partai Islam, yakni terjadinya disorientasi ideologi Partai Islam dan menurunnya citra elit-elit Partainya terkait beberapa skandal, yang berkontribusi menurunkan kepercayaan publik.

Ketiga, faktor klasik yang masih berkembang, yakni pemikiran konservatif, yang menyatakan Islam tidak Kompatibel dengan Demokrasi. Masih ada Kekhawatiran, jika partai-partai Islam menang dalam pemilu, maka akan mengubah fundamental sistem politik negara menjadi tidak lagi demokratis, memberlakukan hukum Islam yang akan bertentangan dengan norma-norma dasar representasi, demokrasi, partisipasi, dan kewarganegaraan (Zakaria 2004). Contoh terkini di Mesir pasca kemenangan Ikhwanul Muslimin. Mesir seakan mengalami revolusi tiada akhir. Benturan horizontal tidak kunjung usai. Hal itu terjadi karena masih ada kecurigaan pihak barat, kaum nasionalis dan liberal Mesir terhadap kekuatan politik Islam Ikhwanul Muslimin.


Tantangan Untuk Partai Politik Islam.

Memang terlalu dini yang menyatakan Partai Islam “Tamat” pasca tahun 2014. Namun harus melakukan langkah-langkah agar Partai Islam tetap eksis, diantaranya :
  1. Partai Islam yakni PPP, PKB, PKS dan PAN bisa menghimpun suara yang berserakan di partai-partai Islam yang tidak lolos verifikasi KPU.
  2. Mengamankan kantung pemilih tradisional Partai Islam seperti di Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Nanggroe Aceh Darussalam, Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan daerah lainnya.
  3. Partai Islam bisa membentuk semacam Liga Muslim Nasional. Koalisi non-fusi yang menyatukan seluruh kekuatan Partai Islam dan nasionalis religius.
  4. Merekrut kader dan Pemimpin Islam yang berkarakter, berkualitas, amanah dan memiliki elektabilitas tinggi.
  5. Kembali ke khittah ideologi, tapi tidak sempit. Mampu menyesuaikan dengan transformasi ideologi kaum santri, khususnya di perkotaan
  6. Partai Islam harus mampu berinovasi dalam mensosialisasikan visinya, khususnya untuk menarik perhatian pemilih pemula.
  7. Partai Islam harus mampu menempatkan posisi disemua kalangan/golongan, memiliki diferensiasi dan branding yang kuat.
  8. Dan harus mampu lepas dari bayang-bayang koalisi di era sekarang. Sedikit banyak, tergerusnya suara Partai Islam karena imbas menurunnya dukungan masyarakat terhadap Pemerintahan SBY terkait berbagai kasus yang menimpanya.
Survei LSI harus dilihat sebagai masukan, early warning dan cambuk, supaya Partai Islam melakukan konsolidasi dini. Masih ada waktu satu tahun setengah supaya partai Islam tidak kehilangan pemilih tradisionalnya.

Referensi Tulisan :
[1] Vivanews.com
[2] Indonesian Democracy and the Transformation of Political Islam (Paper R. William Liddle, Saiful Mujani dan Thomas B. Pepinsky)
[3] Kegagalan Partai Islam, Fajar Riza Ul Haq Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity.

Sumber Tulisan :

Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?