Slider

Kolom Muhammad Ridwan

PNPM Mandiri

Media Sosial

Review Film

Berita

Kuliner

» » » Corruption Sebagai Alat Mediasi dan Syndrome Kangen Militer

Oleh : Andi Hakim.
Sumber : https://www.facebook.com/andihakim03 

Bila kita amati kasus penangkapan Lutfi Hasan Presiden PKS, sebelumnya tuduhan pada Anas Urbaningrum Demokrat, Akbar Tanjung semasa ketua Golkar, dan pelengserang Gus Dur setelah dituduh korupsi bantuan Sultan Brunei, maka sekarang kita sedikit faham bahwa korupsi ketimbang sebuah aksioma ia adalah alat kekuasaan. 


Korupsi dalam kasus-kasus disebut di atas bukan lagi satu praktik pelacuran uang oleh sistem, tetapi ia "lepas" dari referensinya sendiri; korupsi adalah alat penekan sekaligus negosiasi dalam konflik-konflik.

Bila kita simak kasus BLBI yang melibatkan Wapres Boediono, publik sampai hari ini tidak pernah mendapatkan satu kejelasan dari kasus-kasus yang dibuka ke pada mereka. Maksudnya, kasus korupsi tersebut hilang begitu saja tanpa ada kepastian hukum. Ini karena setelah negosiasi-negosiasi antara tersangka, tertuduh, penuduh, selesai dibicarakan, maka case closed, kasus di-peti-es-kan. 


Dalam teori konflik ini disebut latent conflicted antagonism material. Materi-materi laten (tersembunyi) yang sekali-kali dapat dimunculkan apabila diperlukan untuk menekan, mendorong, menjatuhkan, atau menegosiasikan kepentingan-kepentingan politik-ekonomi.

Mengapa kasus-kasus laten seperti ini tidak selesai? dan bagaimana ia dimainkan? Secara sederhana dalam format Indonesia praktik korupsi sebagai alat mediasi ini disesuaikan dengan elan demokrasi yang diharapkan; yaitu publik yang butuh penegasan terhadap pelaku korupsi.

Bila kita runut sejak tahun 1998 saja, maka pertama kesalahan korupsi dihibahkan kepada struktur Soeharto dan militernya. Sampai tahun 2000, kemudian birokrasi dan polisi juga dianggap terlibat. "Korban" berubah lagi di tahun 2002 pelakunya adalah LSM dan civil society, dan kurun 2004 kembali dipersalahkan adalah kelompok intelektual atau think-thank. 

Dampak terhadap korupsi sebagai alat mediasi ini adalah; proses desentralisasi dan demokrasi pemilu yang membuka kran besar-besaran adopsi korupsi di pusat ke daerah-daerah. Harian Nasional menyebut nyaris 93% Bupati/Walikota di Indonesia terindikasi korupsi sejak Pemilu hingga di Pemerintahan. 

Sementara itu, penangkapan Mulyana W Kusuma lima tahun silam adalah tembakan kepada kelompok akademisi. Setelah Gus Dur dua tahun sebelumnya lagi, sebagai perwakilan civil society dilengserkan untuk digantikan Megawati. Sekarang korupsi diarahkan pada institusi kepartaian dan partai politik. 

Dari geneologi korban, dimulai dari Birokrat, civil society , LSM, dan akademisi, lalu partai politik; maka pemikiran publik di arahkan pada satu kesimpulan bahwa mereka tidak lagi dapat dipercaya. 
Sehingga masyarakat sepertinya didorong pada satu kesimpulan  : withdrawal mind. 

Tinggal satu elemen di negara yang mungkin masih dapat diandalkan publik, dan itu yang memang diharapkan. Syndrome Rindu Militer, Sindroma kangen Soeharto. 

Catatan Admin : Pasca orde baru,  memang hanya militer yang relatif bersih dari korupsi. Apakah memang itu sebuah skenario supaya kembali ke status quo?

Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?