Reformasi
tahun 1998 telah membawa banyak perubahan di Indonesia, diantaranya
terbukanya kran demokrasi. Proses demokratisasi di Indonesia melahirkan
paradigma baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni semakin
kuatnya tuntutan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Salah
satu produk reformasi yang paling penting adalah berlakunya otonomi
daerah (Otda) di Indonesia. Otda lahir berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999
yang diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004. Lahirnya Otda telah
mengubah paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi
serta terjadinya perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah, dari tidak
langsung menjadi langsung.
Otonomi
daerah yang diartikan sebagai kewenangan daerah untuk mengatur dan
mengurusi kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundangan-perundangan, sebenarnya sangat diharapkan bisa lebih
mensejahterakan masyarakat setempat. Namun, realitanya tidak demikian,
kondisi kesejahteraan masyarakat di sebagian daerah tidak berubah
signifikan, baik sebelum dan sesudah diterapkannya Otda. Diakui, ada
beberapa daerah yang cukup berhasil mengimplementasikan Otda. Namun hal
tersebut tidak terlepas dari karakter Pemimpin Daerah setempat.
Kepala daerah yang dipilih langsung sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004, pada awalnya diharapkan bisa membawa perubahan di daerah. Namun pada prakteknya, sebagaian besar kepala daerah yang terpilih tidak sesuai dengan harapan masyarakat, diantaranya tidak memiliki kompetensi, terlibat penyalahgunaan jabatan, tidak memiliki moral yang baik dan yang memperihatinkan, hampir 70% Bupati/Walikota menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, terlibat dalam tindak pidana Korupsi. Pertanyaannya, kenapa proses demokratisasi di daerah menghasilkan Pemimpin yang kurang berkualitas?
Kepala daerah yang dipilih langsung sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004, pada awalnya diharapkan bisa membawa perubahan di daerah. Namun pada prakteknya, sebagaian besar kepala daerah yang terpilih tidak sesuai dengan harapan masyarakat, diantaranya tidak memiliki kompetensi, terlibat penyalahgunaan jabatan, tidak memiliki moral yang baik dan yang memperihatinkan, hampir 70% Bupati/Walikota menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, terlibat dalam tindak pidana Korupsi. Pertanyaannya, kenapa proses demokratisasi di daerah menghasilkan Pemimpin yang kurang berkualitas?
Kita
bisa cermati dari proses rekruitmen calon pemimpin daerah, baik
Gubernur maupun Bupati/Walikota. Sebagian besar calon pemimpin daerah
dihadapkan kepada realita politik, bahwa bertarung dalam kompetisi
politik memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan kendaraan
politik saja mereka harus mengeluarkan "mahar" yang tidak sedikit.
Kemudian
dalam proses kompetisi politik di Pilkada, mulai dari penetapan calon
di Komisi Pemihan Umum (KPU), masa kampanye dan pasca Pilkada, milyaran
rupiah harus digelontorkan oleh masing-masing calon. Implikasinya, hanya
calon dengan "banyak amunisi" yang memiliki kesempatan untuk ikut
bertarung di Pilkada. Sedangkan orang-orang yang memiliki kapasitas dan
kompetensi tersisih dari panggung politik.
Muara
akhir dari praktek "Dagang Sapi" dalam transaksi politik adalah
terlahirnya Oligarki Politik di daerah-daerah. Pemimpin daerah yang
terpilih, terlebih dahulu akan "melunasi" ongkos politik yang telah
dikeluarkannya. Untuk itu dengan kewenangan yang dimilikinya, mengontrol
dan memanfaatkan sistem yang ada untuk menguasai berbagai kekuatan
ekonomi politik. Mereka membangun relasi-relasi secara eksklusif dengan
menciptakan elit-elit politik berdasarkan kedekatan keluarga, pertemanan
atau loyalis. Mereka hanya bersinggungan dengan kepentingan sendiri dan
menjauhkan diri dari tanggung jawab sosial untuk mengawal agenda
kerakyatan.
Duduk
di kuasa oligarki tentu saja membuat semua pemimpin daerah merasa
nyaman, oleh karena itu kekuasaannya harus dipertahankan dengan segala
cara. Hal ini bisa kita lihat dalam praktek Pilkada di daerah, dimana
pemimpin daerah petahana mengerahkan semua sumberdaya yang ada, baik
melalui birokrasi, program daerah bahkan dana APBD, digunakan untuk
memenangkan kembali kursi kekuasaannya. Bahkan ada kecenderungan baik di
pusat maupun daerah, para elit politik atau pemimpin sudah menyiapkan
perwaris tahta untuk melanggengkan dinasti kekuasaannya.
Secara
tidak langsung praktek politik Oligarki diatas telah mengkooptasi
proses demokrasi itu sendiri. Menurut Profesor Ilmu Politik Universitas
Northwestern, Jeffrey A Winters, sistem demokrasi di Indonesia memang
telah disandera oleh oligarki dengan mengandalkan kekuasaan material
dalam kegiatan politiknya.
Memang,
demokrasi 'captured by' oligarki tidak hanya terjadi di Indonesia,
namun praktek politik uang untuk meraih kekuasaan di Indonesia sudah
sangat mengkhawatirkan.
Salahsatu
cara melawan kuasa oligarki adalah dengan melibatkan kekuatan politik
kaum miskin atau marginal dan akar rumput lainnya. Dengan advokasi,
secara perlahan, terbuka peluang politik untuk memperjuangkan
kepentingan kaum marginal tersebut di level kebijakan sebagai
penyeimbang dari praktik kuasa oligarki. Selanjutnya adalah mengajak
media massa dan kekuatan masyarakat sipil lainnya turut menjadi
penyeimbang kuasa oligarki diberbagai bidang. Langkah tersebut akan
mengubah wajah demokrasi kita dari sekadar memilih pemimpin daerah,
menjadi institusi yang melayani kehendak warga yang memimpikan
pembangunan sebagai proses pembebasan atau kemerdekaan hakiki.
Oleh: Muhammad Ridwan
0 komentar