Slider

Kolom Muhammad Ridwan

PNPM Mandiri

Media Sosial

Review Film

Berita

Kuliner

» » Pilkada: Proses Demokrasi Yang Melahirkan Oligarki

13799631421884383625

Reformasi tahun 1998 telah membawa banyak perubahan di Indonesia, diantaranya terbukanya kran demokrasi. Proses demokratisasi di Indonesia melahirkan paradigma baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni semakin kuatnya tuntutan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Salah satu produk  reformasi yang paling penting adalah berlakunya otonomi daerah (Otda) di Indonesia. Otda lahir berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004. Lahirnya Otda telah mengubah paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi serta terjadinya perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah, dari tidak langsung menjadi langsung.

Otonomi daerah yang diartikan sebagai kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurusi kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan-perundangan, sebenarnya sangat diharapkan bisa lebih mensejahterakan masyarakat setempat. Namun, realitanya tidak demikian, kondisi kesejahteraan masyarakat di sebagian daerah tidak berubah signifikan, baik sebelum dan sesudah diterapkannya Otda. Diakui, ada beberapa daerah yang cukup berhasil mengimplementasikan Otda. Namun hal tersebut tidak terlepas dari karakter Pemimpin Daerah setempat.

Kepala daerah yang dipilih langsung sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004, pada awalnya diharapkan bisa membawa perubahan di daerah. Namun pada prakteknya, sebagaian besar kepala daerah yang terpilih tidak sesuai dengan harapan masyarakat, diantaranya tidak memiliki kompetensi, terlibat penyalahgunaan jabatan, tidak memiliki moral yang baik dan yang memperihatinkan, hampir 70% Bupati/Walikota menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, terlibat dalam tindak pidana Korupsi. Pertanyaannya, kenapa proses demokratisasi di daerah menghasilkan Pemimpin yang kurang berkualitas?

Kita bisa cermati dari proses rekruitmen calon pemimpin daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Walikota. Sebagian besar calon pemimpin daerah dihadapkan kepada realita politik, bahwa bertarung dalam kompetisi politik memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan kendaraan politik saja mereka harus mengeluarkan "mahar" yang tidak sedikit.

Kemudian dalam proses kompetisi politik di Pilkada, mulai dari penetapan calon di Komisi Pemihan Umum (KPU), masa kampanye dan pasca Pilkada, milyaran rupiah harus digelontorkan oleh masing-masing calon. Implikasinya, hanya calon dengan "banyak amunisi" yang memiliki kesempatan untuk ikut bertarung di Pilkada. Sedangkan orang-orang yang memiliki kapasitas dan kompetensi tersisih dari panggung politik.

Muara akhir dari praktek "Dagang Sapi" dalam transaksi politik adalah terlahirnya Oligarki Politik di daerah-daerah. Pemimpin daerah yang terpilih, terlebih dahulu akan "melunasi" ongkos politik yang telah dikeluarkannya. Untuk itu dengan kewenangan yang dimilikinya, mengontrol dan memanfaatkan sistem yang ada untuk menguasai berbagai kekuatan ekonomi politik. Mereka membangun relasi-relasi secara eksklusif dengan menciptakan elit-elit politik berdasarkan kedekatan keluarga, pertemanan atau loyalis. Mereka hanya bersinggungan dengan kepentingan sendiri dan menjauhkan diri dari tanggung jawab sosial untuk mengawal agenda kerakyatan.

Duduk di kuasa oligarki tentu saja membuat semua pemimpin daerah merasa nyaman, oleh karena itu kekuasaannya harus dipertahankan dengan segala cara. Hal ini bisa kita lihat dalam praktek Pilkada di daerah, dimana pemimpin daerah petahana mengerahkan semua sumberdaya yang ada, baik melalui birokrasi, program daerah bahkan dana APBD, digunakan untuk memenangkan kembali kursi kekuasaannya. Bahkan ada kecenderungan baik di pusat maupun daerah, para elit politik atau pemimpin sudah menyiapkan perwaris tahta untuk melanggengkan dinasti kekuasaannya.

Secara tidak langsung praktek politik Oligarki diatas telah mengkooptasi proses demokrasi itu sendiri. Menurut Profesor Ilmu Politik Universitas Northwestern, Jeffrey A Winters, sistem demokrasi di Indonesia memang telah disandera oleh oligarki dengan mengandalkan kekuasaan material dalam kegiatan politiknya.

Memang, demokrasi 'captured by' oligarki tidak hanya terjadi di Indonesia, namun praktek politik uang untuk meraih kekuasaan di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.

Salahsatu cara melawan kuasa oligarki adalah dengan melibatkan kekuatan politik kaum miskin atau marginal dan akar rumput lainnya. Dengan advokasi, secara perlahan, terbuka peluang politik untuk memperjuangkan kepentingan kaum marginal tersebut di level kebijakan sebagai penyeimbang dari praktik kuasa oligarki. Selanjutnya adalah mengajak media massa dan kekuatan masyarakat sipil lainnya turut menjadi penyeimbang kuasa oligarki diberbagai bidang. Langkah tersebut akan mengubah wajah demokrasi kita dari sekadar memilih pemimpin daerah, menjadi institusi yang melayani kehendak warga yang memimpikan pembangunan sebagai proses pembebasan atau kemerdekaan hakiki.


Oleh: Muhammad Ridwan

Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?