Slider

Kolom Muhammad Ridwan

PNPM Mandiri

Media Sosial

Review Film

Berita

Kuliner

Analisis Marxis Tentang Islam Politik


Bentuk imperialisme mengalami metamorfosis sejak berakhirnya perang dunia Kedua. Saat ini Amerika Serikat dan sekutunya mendominasi di seluruh dunia, baik secara ekonomi, politik maupun militer. Secara ekonomi, dominasi itu ditancapkan melalui lembaga-lembaga seperti IMF dan WTO. Sementara secara politis melalui pemimpin yang bisa dikendalikan dan dipengaruhi seperti yang terjadi di Irak, Afghanistan, dan Palestina, dan secara militer dengan cara pendudukan negara-negara berdaulat di Timur Tengah dan Asia Selatan.

Praktis, pasca berakhirnya perang dingin, Amerika Serikat dan sekutunya menjadi satu-satunya polisi dunia. Namun pasca peristiwa 11 September 2001, atau lebih dikenal dengan peristiwa 9/11 melalui kampanye Presiden George W. Bush yang disebut “Perang Melawan Teror”,  telah mengubah seluruh diskusi tentang relasi Islam dan Dunia Barat.  Mulai saat itu, Amerika Serikat mulai menghadapi penyeimbang baru yakni gerakan Islam Politik di seluruh dunia

Imbas dari kampanye “Perang Melawan Teror”, tidak hanya Al-Qaeda yang menjadi target, banyak gerakan Islam yang dianggap radikal, dan dicurigai berafiliasi dengan Al-Qaeda juga terkena imbasnya. Tidak hanya itu, gerakan Islam Politik yang tidak ada hubungan dengan Al-Qaeda-pun ikut diberangus.

Provokasi Perbatasan Indonesia: By Design?

Peta Potensi Konflik Indonesia dengan Negara Jiran  
Selama satu bulan terakhir, isu konflik perbatasan dan diplomatik dengan negara tetangga menjadi headline media  Indonesia, baik cetak maupun elektronik. Setelah Australia melakukan provokasi di laut selatan Indonesia dalam rangka menghalau pencari suaka, dan protes Singapura terkait penamaan KRI Nahkoda Ragam Class dengan nama Pahlawan Usman-Harun, kini isu hangat datang dari Timur Indonesia, yakni kasus pembakaran perahu nelayan Indonesia oleh Tentara Papua New Guinea (PNG) di perairan perbatasan Indonesia-PNG.  Apakah semua provokasi di perbatasan dan konflik diplomatik ini By Design?

Setelah sekian lama Indonesia berkonsentrasi dalam rangka pemulihan keamanan dalam negeri akibat separatisme, kini Indonesia menghadapi ancaman serius dari luar negeri, yakni konflik perbatasan dan diplomatik dengan negara tetangga. 

Pertama, konflik perbatasan dan diplomatik dengan Australia akibat operasi kedaulatan perbatasan yang dilancarkan Pemerintahan Tony Abbott. Angkatan Laut Australia telah memasuki secara ilegal perairan Indonesia saat mendorong kembali kapal-kapal pencari suaka ke wilayah Indonesia. Isu pencari suaka ke Australia merupakan isu yang sensitif bagi kedua negara, karena Australia menuduh Indonesia melakukan pembiaran atas derasnya pencari suaka yang memasuki Australia. Sebelumnya Indonesia menarik duta besarnya di Australia akibat skandal penyadapan oleh Australia terhadap Presiden SBY dan Ibu Negara serta beberapa pejabat tinggi Indonesia.

Pesawat F-16 Singapura Provokasi Indonesia?


Setelah Australia melakukan provokasi di laut selatan Indonesia dalam rangka menghalau pencari suaka, beredar berita di media online dan social media  Singapura melakukan hal yang sama dengan melakukan "Show of Force" angkatan udara-nya dilangit Pulau Batam. Kalau hal ini benar,  Singapura mungkin jengkel, karena TNI-AL tetap bersikeras menamai sebuah Korvet Ragam Class dengan nama KRI Usman-Harun. Usman-Harun merupakan dua orang marinir asal Indonesia yang dihukum gantung di Singapura karena dituduh melakukan pengeboman di Singapura pada era Operasi Dwikora tahun 1965. Tapi, di Indonesia Usman - Harun di anggap Pahlawan Nasional.

Seperti diberitakan Tribunnews.com, Jumat (7/2/2014), sekitar pukul 14.30 WIB diduga sebuah pesawat tempur Singapura yang diperkirakan jenis F-16 terbang rendah diatas langit Batam dengan kecepatan sedang. Menurut saksi mata, saking rendahnya, sisi kanan dan kiri sayap pesawat itupun dapat jelas terlihat, dan selang beberapa detik berikutnya, pesawat serupa menyusul di bagian belakang.  Seperti pesawat sebelumnya, sisi kanan dan kiri pesawat tampak kosong alias tak membawa peralatan tempur semisal bom.

Saya kira, diluar benar tidaknya berita tersebut, ketegangan Indonesia dengan negara tetangga baik di Utara maupun selatan akan terus berlanjut. Aktor intelektual yang menyebabkan mulai memanasnya kawasan ASEAN adalah Australia. Hal ini tidak terlepas sikap keras kepala Tony Abbot terkait operasi kedaulatan perbatasan Ausralia. Bahkan untuk memperluas operasi tersebut, Australia berusaha mendekati Malaysia dengan cara menghibahkan dua buah kapal patroli ke Angkatan Laut Malaysia. Sudah jelas kemana langkah Australia! Malaysia dan Singapura sebagai negara persemakmuran akan ditarik ke aliansi Ausi-AS dalam rangka menghadapi ancaman musuh dari utara Australia, yakni China dan Indonesia.

Jika benar Angkatan Udara Singapura telah melanggar batas udara Indonesia, maka Indonesia harus tegas terhadap Singapura. Beberapa waktu lalu Indonesia telah mengirimkan KRI Kelas Ahmad Yani dan beberapa KRI lainnya mendekati perairan Darwin ketika mengetahui Angkatan Laut Australia menerobos wilayah Indonesia saat mendorong balik kapal pencari suaka. Hal yang sama harus dilakukan Indonesia terhadap Singapura  dengan memindahkan armada tempur lautnya disekitar selat Malaka. Kemudian Pangkalan TNI-AU di Pekan Baru, dan Supadio Pontianak yang dihuni Pesawat Hawk 100/200  harus segera diganti dengan pesawat tempur baru seperti SU-35. Pesawat tempur F-16 block 52 Singapura bukan lawan tanding Hawk sebagai tulang punggung Kohanudnas di bagian Barat Indonesia.

Kemudian Markas Marinir di Pulau Nipah perlu ditempatkan sebuah peluru Kendali atau roket seperti MLRS Altros yang bisa menjangkau Pulau Singapura. Sebenarnya dengan Artileri Medan buatan Prancis saja sudah bisa menjangkau Singapura. Hanya dengan tembakan roket MLRS Marinir atau Artileri dari Batam, Singapura yang wilayahnya se-upil bisa dengan mudah dibumi-hanguskan, apalagi jika dilakukan operasi amphibi dan serangan udara.


Indonesia juga harus segera merealisasikan Kapal Selam Kilo untuk menghadapi Kapal Selam Kelas Collin Australia dan Singapura. Kemudian Personil Paskhas di Batam, Pekan Baru dan Medan perlu dibekali dengan rudal anti pesawat Qian Wei seri 2 dan 3 buatan RRC. Indonesia juga harus memiliki rudal jelajah S-300 dan Yakhont untuk ditempatkan di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Jangan main api Singapura dan Australia, kalau bisa Malaysia jangan terjebak politik adu domba Ausralia. Penamaan sebuah KRI dengan nama Pahlawan Nasional adalah hak Indonesia, Singapura tidak boleh intervensi.



Menakar Masa Depan Anas Urbaningrum

Pasca ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Proyek Hambalang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jum'at malam (22/02/13), Anas Urbaningrum langsung  menyatakan berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat  sekaligus sebagai kader, pada Sabtu 23 Februari 2013.

Banyak yang menyatakan, inilah akhir karir politik Anas. Karena, selain tidak punya jabatan politis, Anas terancam hukuman penjara yang cukup lama, jika terbukti bersalah dalam kasus proyek Hambalang.

Berdasarkan surat perintah penyelidikan atau Sprindik tertanggal 22 Februari 2013, Anas disangka melanggar Pasal 12 Huruf a atau Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika sangkaan itu terbukti di Pengadilan Tipikor, Anas menghadapi ancaman hukuman penjara seumur hidup.

Pertanyaannya, benarkah karir Anas Urbaningrum "sudah tamat" sebagai politisi pasca ditetapkan sebagai tersangka Korupsi?

Politisi Tidak Pernah "Mati"

Menurut tokoh senior Himpunan Mahasiswa Islam, Akbar Tandjung, mengutip ucapan mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churcill, politisi dapat terbunuh berkali-kali dalam politik, namun setelah terbunuh, politisi tersebut dapat bangkit kembali. Mengutip Kompas.com, Sabtu (23/02/13).

Andrea Hirata, Anda tetap Penulis Favorit Saya

Andrea Hirata merasa kecewa dengan tulisan Damar Juniarto, seorang Blogger di Kompasiana dan rencananya  akan melakukan gugatan hukum kepadanya. Andrea Hirata menganggap, apa yang ditulis oleh Damar Juniarto sangat melemahkan upaya kerasnya untuk mengangkat harkat dan martabat Indonesia melalui dunia buku, dan tudingannya bisa menjadi preseden buruk bagi penulis Indonesia lainnya yang akan menerbitkan bukunya di luar negeri.


Setelah jadi headlines di Kompasiana, tulisan Damar Juniarto dengan judul “Pengakuan Internasional Laskar Pelangi: Antara Klaim Andrea Hirata dan Faktanya” yang diposting pada tanggal 13 Februari 2013 pukul  23:53, menjadi trending articles dengan 48492 hits dan 169 komentar pada saat tulisan ini diposting.


Dalam tulisannya, Damar mengkritisi sejumlah klaim Andrea Hirata terkait penerbitan novel 'Laskar Pelangi' di luar negeri. Dalam lead-nya, Damar menuliskan "Label International Best Seller yang dasar penetapannya tidak jelas ini ternyata dipergunakan Andrea Hirata untuk mengolok-olok sejarah sastra Indonesia selama kurun kurang dari seratus tahun".

Kemudian dalam alinea utamanya, Damar menyatakan Andrea Hirata telah melakukan klaim atas pernyataannya, bahwa hampir seratus tahun tidak ada buku anak bangsa mendunia dan menjadi International Best Seller. Menurut Damar,  faktanya tidak benar demikian,  pengakuan internasional untuk karya sastra dari Indonesia pernah ada. Contohnya Pramoedya Ananta Toer, NH Dini dan YB Mangunwijaya, pernah masuk dalam radar penilaian penulis hebat yang layak meraih Nobel Sastra.

Selanjutnya, tulisan Damar yang lebih menohok Andrea Hirata adalah soal penerbit Sarah Crichton Books dan FSG, New York.  Damar menuliskan, Andrea Hirata telah melakukan klaim bahwa karyanya telah di cetak ulang oleh ‪Farrar, Straus and Giroux‬ (FSG). FSG adalah penerbit yang biasa mencetak karya-karya sastrawan dunia, khususnya penerima Nobel Sastra.  Namun kenyataannya, Buku Laskar Pelangi versi internasional tersebut hanya dicetak oleh Sarah Crichton Books, imprint dari FSG, yang menerbitkan beragam karya sastra fiksi dan non-fiksi yang menekankan pada sisi komersil, bukan karya sastra se-level peraih Nobel/Pulitzer.

Wajar jika Andrea Hirata menjadi berang dan kecewa, karena ini menyangkut kredibilitasnya. Mengutip detik.com, Rabu (20/02/2013), menurut Andrea, seorang penulis harus mempertahankan integritas karyanya.  Oleh Karena itu, banyak saran yang masuk pada penulis asal Belitung Timur itu agar menggugat Damar terkait tulisannya tersebut.

Namun, statemen Andrea Hirata tersebut memunculkan pro dan kontra di Media Sosial termasuk di Kompasiana sendiri. Sebagian pihak membela Damar, karena tidak selayaknya Andrea Hirata menggugat seorang Blogger atau Penulis yang ingin mendudukkan persoalan yang sebenarnya terkait pernyataan Andrea, yang mengatakan tidak ada buku karya anak bangsa mendunia dalam kurun waktu seratus tahun. Namun bagi para penggemar karya Andrea Hirata, tulisan tersebut dianggap "mempermalukan" Andrea Hirata di ranah publik.

Jujur, saya salah satu penggemar novel-novel  Andrea Hirata, termasuk tetralogi Laskar Pelangi. Dari kacamata awam, mencerna karya sastra Andrea Hirata sangat "membius" alam pikiran saya, penuh  inspiratif, khususnya Buku Laskar Pelangi. Dengan judul yang sama, akhirnya Laskar Pelangi diangkat ke layar lebar. Dua sineas muda, Mira Lesmana dan Riri Riza adalah orang yang berhasil mewujudkannya. Saya berikan penilaian bintang empat untuk film tersebut. Film favorit saya setelah Habibie-Ainun.

Pendapat saya, kontroversi tulisan Damar Juniarto tidak usah diperpanjang. Beliau hanya menganalisa dari sudut pandang yang berbeda tentang tafsir Internasional Best Seller dan Branding yang dilakukan oleh Andrea Hirata, terlepas siapa sebenarnya yang menjadi penerbit buku Laskar Pelangi di dunia Internasional.

Bagi saya, siapa-pun penerbitnya, harus diakui Andrea Hirata adalah sedikit dari Penulis Indonesia yang sudah dapat pengakuan Internasional. Tidak mudah untuk mencapainya. Andrea Hirata, dengan susah payah membangun Image sebagai penulis Best Seller. Dan faktanya memang demikian. Sehingga tetap mengganggap, Andrea Hirata, adalah penulis favorit saya. Bahkan, saya punya mimpi ingin seperti Andrea Hirata, seorang penulis hebat yang mampu memberi inspisari terhadap jutaan rakyat Indonesia agar punya mimpi kuat, untuk jadi apa saja.

Kemudian, statemen Andrea Hirata tentang klaim "seratus tahun tidak ada buku anak bangsa mendunia dan menjadi International Best Seller", hanya ungkapan spontan, karena kegembiraannya atas capaian yang telah diraih buku Laskar Pelangi di dunia International. Saya tidak mempersoalkan siapa penerbitnya. Toh, karya sastra hebat tidak harus lahir dari penebit tertentu.  Bisa saja penerbit lokal melahirkan karya sastra yang bisa meraih Pulitzer atau Nobel. Itu harus jadi mimpi kuat setiap penerbit dan penulis di Indonesia.

Sayang, kalau hanya terkait siapa penerbit karya sastranya, seorang penulis hebat seperti Andrea Hirata jadi objek cibiran oleh banyak pihak. Karena, secara tidak langsung telah "membunuh" mimpi Andrea Hirata untuk meraih Nobel atau Pulitzer.

Saya percaya, apa yang telah dicapai Andrea Hirata saat ini karena "Vision" yang sangat kuat, sehingga semua cita-citanya bisa terwujud. Seperti kalimat Andrea Hirata dalam buku Sang Pemimpi, "Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu”.
Teruslah berkarya Andrea Hirata!

Muhammad Ridwan
My Blogs :
www.mediawarga.blogspot.com 
www.tulisanaridwan.blogspot.com 

Lagi, Tamparan untuk Bangsa Indonesia

Lagi, tamparan untuk Bangsa Indonesia. Dera Nur Anggraeni, bayi yang baru lahir, meninggal Sabtu (16/02/13). Ironisnya Dera meninggal, setelah ditolak 10 Rumah Sakit (RS) untuk perawatan medis lebih lanjut.

Dera, bayi caesar yang terlahir prematur di RS. Zahira, Pasar Minggu, akhirnya meninggal karena gangguan pernapasan. Penyebabnya, keterbatasan peralatan NICU (ICU khusus Bayi) di RS. Zahira, akhirnya Dera harus dirujuk ke RS yang lebih lengkap peralatannya. Namun, nyawanya tidak tertolong, karena terlambat menerima penanganan medis lebih lanjut.

Dera yang terlahir kembar, merupakan anak dari pasangan Eliyas Setyo Nugroho (20 tahun) dan Lisa Darwati (21 tahun). Saudaranya Dara Nur Anggraeni (usia 8 hari) masih bisa diselamatkan. Kini sedang dirawat di RS. Tarakan, Jakarta.

Seperti biasa, setelah kasus Dera di ekspose media, terjadi perdebatan diranah publik. Menurut Ketua Satgas Perlindungan Anak (PA),  Muhammad Ichsan, kembali terjadi diskriminasi pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin. Ichsan mengkritik sikap RS yang menolak pasien dan selalu mengatakan bahwa tidak ada kamar alias penuh saat ditunjukkan surat rujukan.

"Jadi pasien belum bicara alat, baru memberikan surat rujuk doang, tapi langsung ditolak," ujar Ichsan. Dilansir Okezone.com (19/02/2013).

Pernyataan Satgas PA langsung dibantah oleh Pemerintah melalui Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi. Menteri Kesehatan menegaskan, bayi Dera tidak bisa langsung mendapatkan perawatan karena keterbatasan fasilitas, bukan karena status ekonomi orang tuanya.

“Itu bukan karena kemiskinan, memang karena tidak ada fasilitasnya". Papar Nafsiah Mboi, mengutip dari bisnis.com.

Kasus Dera, menyeret juga program teranyar Joko Widodo (Jokowi), Kartu Jakarta Sehat (KJS). Program KJS, oleh beberapa pengamat dianggap tidak efektif. Namun, hal tersebut dibantah Jokowi. Menurut Jokowi, Program KJS sudah benar, namun fasilitas rumah sakit yang perlu ditingkatkan.

"KJS-nya jalan, tapi pendukung di rumah sakitnya yang belum siap 100 persen," kata Gubernur DKI mengutip dari detik.com, Senin (18/2/2013).

Media, Pemilik Media dan Power Holder

Menjelang 2014, peran media menjadi penting dalam menegakkan demokrasi. Namun, saat ini independensinya menjadi sebuah tantangan tersendiri terkait mayoritas pemilik media mainstream sudah berafiliasi kepada partai politik. Dengan kekuasaaan (power holder) yang dimilikinya, media mampu mengarahkan opini publik. Media pada akhirnya menjadi corong kekuatan politik dan sangat partisan.

Melihat kondisi independensi Media yang demikian, Presiden SBY sempat menyinggungnya pada puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ke-27 di Manado, Senin (11/2). Dalam sambutannya menyatakan pers di era demokrasi adalah salah satu pemegang power holder, oleh karenanya harus bisa menggunakan kekuasaannya dengan baik.

“Dimanapun di dunia ini, pemegang kekuasaan selalu menghadapi godaan. Oleh karena itulah saya selalu menganjurkan, mengajak kita semua, termasuk Presiden, sebagai salah satu power holder untuk pandai-pandai dengan penuh amanah kita menggunakan kekuasaan itu untuk sebesar-besar kepentingan rakyat yang sama-sama kita cintai”. Ungkap Presiden.

13611865771342437874

Apa yang dikatakan Presiden memang benar. Sejatinya Pers atau media massa disebut sebagai “Pilar keempat” demokrasi yang melengkapi “trias politica” yang sudah  ada, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Media massa, baik cetak maupun elektronik (termasuk media online), harus bisa mengawasi tiga pilar negara tersebut. Namun, pada praktiknya, masih ada media massa yang menyalahgunakan “power holder” yang dimilikinya, sering melebihi kewenangannya sebagai “wacthdog”.

Yang lebih memprihatinkan saat ini, konten atau acara media mainstream terindikasi  mengikuti keinginan Pemilik Media. Khususnya Media yang sahamnya dikuasai oleh Pengusaha yang juga politisi.


Gurita Media Milik Pengusaha

Berita mengejutkan datang dari Hary Tanoesoedibjo (HT), Pengusaha yang juga CEO MNC Grup, menyatakan bergabung dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) pimpinan Wiranto, Minggu (17/02/2013).  Berita ini menjadi “hard news” ditengah hiruk pikuk pemberitaan “Kisruh Partai Demokrat” dan “Masalah Suap Impor Daging Sapi”. Menjadi penting, karena belum lama HT hengkang dari Partai Nasdem, partai besutan pemilik Media Group, Surya Paloh.

Ketika masih bergabung di Partai Nasdem, melalui iklan politiknya,  Visi HT masuk ke dunia politik karena ingin adanya perubahan di Indonesia. Iklan politik yang ditayangkan jaringan media MNC Grup seperti RCTI, MNCTV dan GlobalTV, mampu mengerek elektabilitas Partai Nasdem. Sebelumnya, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menggelar survei pada 6-20 Desember 2012. Hasil survei itu, menyatakan Partai Nasdem  ada diurutan ke-enam, dengan  elektabilitas sebesar 5 persen, mampu mengalahkan PKS, PPP, PAN dan Partai Hanura.

Kemudian, Taipan sekaligus politisi yang memiliki jaringan media adalah Aburizal Bakri, Ketua Umum Partai Golkar. Melalui PT Visi Media Asia Tbk atau disebut VIVA, memiliki stasiun televisi ANTV, TVOne dan Sport One, serta portal berita online VIVA.co.id. Sudah menjadi rahasia umum, jaringan media milik  Bakrie & Brother tersebut lebih condong berafiliasi kepada Partai Golkar. Contohnya, ketika peliputan kampanye Pilgub Jabar, Pasangan Cagub H Irianto MS Syafiuddin atau YanceTatang yang diusung partai Golkar selalu mendapat porsi lebih dan selalu ditayangkan pertama dibandingkan kandidat lain.

Selanjutnya, Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem, melalui Media Grup, memiliki harian Media Indonesia, Lampung Post dan MetroTV. Sudah bisa kita lihat sepak terjangnya setiap hari, Jaringan Media Grup, khususnya MetroTV,  sangat kritis kepada Pemerintah, seperti media oposan.

Pengusaha media besar Indonesia lainnya adalah Charul Tanjung (CT).  Dibawah bendera CT Corp dengan Trans Corp sebagai perusahaan medianya, memiliki TransTV, Trans7 dan Portal Berita Detik.com. Walaupun  CT tidak masuk partai politik, namun jabatan sebagai Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) sangat strategis. Dan CT dikenal dekat dengan Presiden SBY. Tapi diakui, media jaringan  Trans Corp masih terlihat independent dalam penayangan beritanya.

Pertanyaannya sekarang, masih adakah media mainstream yang independent dan menjaga dengan amanah Power Holder yang dimilikinya?


Jawabannya masih ada. Seperti contoh, Grup Kompas Gramedia melalui harian Kompas, kompasTV, portal berita kompas.com, dan media warga bersama kompasiana.com masih independent dan tidak partisan.

Kemudian, Grup Jawa Post yang dimiliki Dahlan Iskan. Grup Jawa Post memiliki jaringan koran terbesar di Indonesia melalui Harian Radar dan RadarTV. Walaupun Pak Bos (sebutan Dahlan Iskan oleh para Wartawannya) menjadi Menteri Negara BUMN. Namun, dalam buku yang saya baca dengan judul “Dahlan Juga Manusia” karangan Siti Nas’yiah (Ita),  tidak diragukan lagi indepedensi Grup Jawa Post.

Memang, di negara yang dianggap  paling demokratis-pun, seperti Amerika Serikat, media mainstream yang partisan banyak bertebaran. Seperti contoh jaringan televisi Fox, cenderung pro kepada Partai Republik. Sah saja, media berpihak kepada salah satu kekuatan politik. Namun, bagi Indonesia yang rakyatnya masih belajar berdemokrasi, Media harus tetap menjaga Indepedensi dan amanah dalam menggunakan power holder yang dimilikinya, sesuai dengan harapan Presiden dalam puncak HPN ke-27.
Referensi tulisan:
  1. http://www.setkab.go.id/berita-7353-sambutan-presiden-republik-indonesia-pada-puncak-peringatan-hari-pers-nasional-hpn-tahun-2013-senin-11-februari-2013-di-grand-kawanua-international-city-manado.html
  2. id.wikipedia.org
  3. Buku Citizen Journalism (Pandangan, Pemahaman dan Pengalaman) Karangan Pepih Nugraha.