Riuh
rendah pemilihan Presiden tahun 2014 sudah terasa. Beberapa kandidat Calon Presiden (Capres) sudah beredar di masyarakat. Bahkan beberapa
partai sudah mendeklarasikan ketua umumnya, seperti Aburizal Bakri dari
Partai Golkar, dan Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Beberapa nama lama masih masuk dalam bursa Capres, diantaranya Megawati
Soekarno Putri, Jusuf Kalla, Wiranto, dan Prabowo Subianto.
Namun
menariknya, muncul nama-nama baru dalam bursa Capres yang menurut
lembaga survei bisa jadi kuda hitam di tahun 2014. Diantaranya Joko
Widodo, Dahlan Iskan, dan Mahfud MD. Tidak ketinggalan dari kalangan
seniman-pun mencalonkan diri, yakni H. Rhoma Irama.
Lalu
tipologi seperti apakah pimpinan nasional yang diharapkan rakyat
Indonesia? Apakah yang ganteng, berwibawa, kharismatis, tegas, atau
turunan pemimpin nasional sebelumnya?
Tipologi Kepemimpinan Menurut Max Weber
Menurut
Max Weber ada tiga macam tipe kepemimpinan, yaitu tradisional,
kharismatis, dan legal-rasional. Kepemimpinan tradisional semata-mata
tergantung kepada kekeramatan tradisi masa lampau yang selalu diingat,
dan kenyataan-kenyataan yang mendahului.
Kepemimpinan
kharismatis menekankan kualitas yang unik dan luar biasa dari sang
pemimpin. Kemudian legal-rasional bertumpu pada kekuatan Impersonal dan
abstrak, cakupan tugas dan kekuasaannya berdasarkan dalam tata hukum,
dan pemangku yang berkuasa mendapatkan kekuasaannya berkat hukum
tersebut.
Kedudukan
hukum membedakan ketiga tipe itu. Dalam kepemimpinan tradisional, hukum
dipandang sebagai suci sehingga hak dan kewajiban hampir-hampir sama.
Kepemimpinan kharismatis Tidak berdasar hukum, bersifat absolut, dan
pemilihan staff berdasarkan loyalitas pada pemimpin atau entusiasme
seseorang akan tujuan bersama. Dalam kepemimpinan legal-rasional hukum
merupakan sistem yang sempurna, konsisten, dan komprehensif.
Tipologi Kepemimpinan Nasional di Indonesia.
Presiden
Soekarno adalah Presiden yang legal-rasional di awal revolusi
kemerdekaan Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, Presiden
Soekarno berubah menjadi pemimpin yang tradisional, dan pada akhirnya
menjadi pemimpin kharismatis dengan ditetapkannya sebagai Presiden
seumur hidup dimasa demokrasi terpimpin.
Setali
tiga uang dengan Presiden Soekarno, Presiden Soeharto-pun demikian.
Pada awalnya, Presiden Soeharto adalah pemimpin legal-rasional sebagai antitesa Presiden Soekarno yang sudah jadi tokoh kharismatik. Namun,
setelah lebih dari tiga dasawarsa dalam jabatannya, Presiden Soeharto
berkembang menjadi tokoh kharismatis sekaligus tradisional.
Pasca
reformasi, upaya mengkoreksi praktek tipe kepemimpinan yang tradisional
dan kharismatis dilakukan dengan amandemen UUD 1945, yaitu dengan
membatasi masa jabatan Presiden hanya sampai dua periode. Ditataran
pemerintah daerah dikeluarkan Undang-undang (UU) Otonomi Daerah (Otda).
Melalui Otda, setiap Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih langsung oleh
rakyat.
Dilakukannya
amandemen UUD 1945 dan pelaksanaan UU Otda bertujuan agar terpilih
pemimpin dari jenjang nasional sampai Kabupaten/Kota yang
legal-rasional. Dan harapan lebih lanjut, Birokrasi dibawahnya-pun
diharapkan bersifat legal-rasional.
Namun,
fakta dilapangan sekarang sangat menyedihkan, khususnya di Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Banyak Birokrat melihat jabatannya
secara tradisional. Sudah rahasia umum, mulai jenjang nasional sampai
Kabupaten/Kota banyak Pejabat eselon satu dan dua yang diangkat
berdasarkan loyalitas atau kedekatan kepada Menteri, Gubernur atau
Bupati/Walikota. Padahal pejabat tersebut belum tentu punya kompetensi.
Bahkan di beberapa daerah ada politik dinasti. Anak seorang Gubernur,
bisa terpilih menjadi Bupati/Wakil Bupati, karena kharismatik
orangtuanya. Atau Istri seorang Bupati bisa menjadi Bupati pada periode
selanjutnya, menggantikan suaminya.
Lebih
memperihatinkan lagi dalam seleksi calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di
Provinsi dan Kabupaten/Kota, penuh dengan ciri-ciri tradisional, dimana
keluarga pejabat banyak yang lolos jadi PNS. Meminjam istilah
Kuntowijoyo, nepotisme baru ini mirip aristokrasi tradisional : sentana dalem, rayi dalem, putra dalem. Birokrasi yang legal-rasional itu berdasarkan merit, keahlian, tidak berdasarkan loyalitas, atau stratifikasi sosial.
Birokrasi
Indonesia masih jauh dari sifat legal-rasional, jika Pemimpin Indonesia
mulai jenjang nasional sampai Kabupaten/Kota adalah tokoh kharismatis
dan tradisional yang menjadikan loyalitas kepada seseorang masih menjadi
ukuran. Konsep monoloyalitas mengakibatkan pemimpin yang kharismatik
dan tradisional semena-mena dalam pengangkatan, pemindahan dan penurunan
jabatan di birokrasi pemerintahan.
Di
masa reformasi, walaupun masa jabatan Presiden dibatasi, tidak bisa
menjamin munculnya pemimpin yang legal-rasional. Kemungkinan terpilih
kembali pemimpin yang kharismatik, dan tradisional, masih sangat besar.
Karena masyarakat kita masih melihat Capres dari Kegantengannya,
kewibawaan, keunikan, kharismatik orangtua, dan popularitasnya saja.
Masyarakat perlu di-edukasi memilih Presiden berdasarkan legal-rasional
yang memiliki kesalihan individu dan sosial, serta kompetensi. Pemimpin
kharismatik dan tradisional bisa muncul karena rakyat sendiri yang
memilihnya.
Supaya
rakyat tidak "membeli kucing dalam karung", mari kita pilih Presiden
yang legal-rasional pada tahun 2014. Pilihan ada pada anda semua rakyat
Indonesia.
Referensi tulisan : Artikel Kuntowijoyo, dalam Buku " Suara Amin Rais Suara Rakyat".
Muhammad Ridwan