Slider

Kolom Muhammad Ridwan

PNPM Mandiri

Media Sosial

Review Film

Berita

Kuliner

Pileg 2014 Berakhir 'Remis', Peta Politik Berubah


Capres 2014
Pemilihan legislatif (Pileg) 2014 yang di gelar hari Rabu, 09 April 2014, berjalan dengan sukses dan aman. Namun hasil akhirnya ‘remis’. Ibarat main catur, tidak ada pemenang dalam Pileg tahun ini, walaupun hasil akhir Pileg versi enam hitung cepat atau quick count telah menempatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) meraih suara terbanyak. Namun tidak satupun Partai yang meraih 25 persen suara sah nasional sebagai syarat untuk mengajukan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres).

Hasil hitung cepat atau quick count yang dirilis enam lembaga survey telah menempatkan tiga partai politik di papan atas yakni PDI-P dengan raihan suara rata-rata 19,02 persen, Partai Golkar dengan raihan suara rata-rata 14,72 persen dan  Partai Gerindra dengan raihan suara rata-rata 11,89 persen. 

Hasil Akhir 'Quick Count' Pemilu 2014


Pemilihan legislatif (Pileg) 2014 telah di gelar pada Rabu, 09 April 2014, berjalan dengan aman dan suskes. Hasil akhir Pileg versi enam hitung cepat atau quick count telah menempatkan tiga partai berada di papan atas yakni PDI-P dengan raihan suara rata-rata 19,02 persen, Partai Golkar dengan raihan suara rata-rata 14,72 persen dan  Partai Gerindra dengan raihan suara rata-rata 11,89 persen.

Selanjutnya Partai yang berada di papan tengah adalah Partai Demokrat dengan raihan suara 9,78 persen, kemudian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan raihan sekitar 9,21 persen dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan raihan sekitar 7,51 persen.

Kemudian di papan bawah bertengger Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan raihan rata-rata 6,75 persen, Partai Nasdem dengan 6,67 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan raihan 6,62 persen dan terakhir Partai Hanura dengan raihan 5,28 persen suara.

Suara Partai Islam Naik, Mampukah Wujudkan Koalisi Islam?


Berdasarkan hasil sementara Quick Count 6  Lembaga Survey yakni CSIS, SMRC, RRI, LSI, Litbang Kompas, dan MetroTV, perolehan suara partai-partai Islam naik siginifikan jika dibandingkan dengan hasil perolehan suara pada pemilu 2009.

Pada tahun 2009, perolehan suara partai-partai Islam hanya sebesar 25,94 persen dengan rincian : Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 7,88 persen, Partai Amanat Nasional (PAN) 6,01 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 5,32 persen, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 4,94 persen, dan Partai Bulan Bintang (PBB) 1,79 persen.

Sedangkan gabungan suara partai Islam pada Pemilu kemarin berdasarkan hasil Quick Count 6 lembaga survei mencapai 31,59 persen.  Perolehan suara Partai Islam dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Strategi "Lompat Kodok" Jokowi Vs. Jenderal MacArthur


Perang Dunia II memberi kita banyak pelajaran berharga, salah satunya adalah Leapfrog Strategy atau Strategi Lompat Kodok yang diperkenalkan oleh Jenderal Douglas MacArthur yang kala itu bertugas mengawal pangkalan Amerika di Pasifik.

Jenderal Douglas MacArthur menggunakan strategi "Lompat Kodok" untuk kuasai wilayah-wilayah yang dikuasai Jepang, dan sampai di daratan Jepang. Dengan Strateginya tersebut, Amerika Serikat memenangkan Perang Asia Pasific .

Dengan Leapfrog Strategy, MacArthur kuasai dulu pulau kecil seperti karang, langkah selanjutnya adalah menguasai kepulauan berukuran sedang seperti Kepulauan Solomon dan New Guinea, baru kemudian melangkah lebih jauh merengkuh Filipina dan sampai ke wilayah kepulauan Jepang. Semua berjalan secara terstruktur, dan langkah demi langkah, sabar dan konsisten. Itulah kunci kemenangan pasukan MacArthur di Pasifik atas Jepang.

Apakah Strategi itu bisa digunakan dalam dunia politik? Iya, tentu saja bisa. Beberapa tokoh pendiri bangsa Indonesia menapak jalan menuju kekuasaan dimulai dari bawah, karirnya terstruktur, terseok-seok, berdarah-darah, namun perlahan tapi pasti bisa merengkuh kekuasaan politik yang diinginkannya. Contohnya Soekarno.

Strategi Lompat Kodok Jokowi

Sekarang, Apa relevansinya antara "Strategi Lompat Kodok" dengan Jokowi? Iya, kalau kita lihat "lompatan" karir politiknya yang fenomenal, seolah-olah ia (Jokowi-red) menggunakan strategi ini.

Awalnya Jokowi hanya seorang pungusaha meubel yang kemudian terjun ke dunia politik. Karir politik Jokowi dimulai
melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), kemudian menjadi Walikota Solo, lalu dalam waktu singkat menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan sekarang Jokowi menapak jalan menuju kursi RI-1. Sebuah "lompatan" politik yang luar biasa.

Tapi, dalam dunia politik, karir melesat cepat dalam waktu singkat, apalagi belum menyelesaikan tugas secara tuntas atau amanah rakyat, tidaklah elok. Itu melangggar "etika politik" yang memang tidak tersirat secara tertulis.

Pasti tulisan ini banyak yang mencibir, dan mengatakan, so what gitu loh, itu hak asasi Jokowi dan Partainya. Benar, itu hak kita semuanya juga.

Namun ada pelajaran yang bisa kita ambil dari "Strategi Lompat Kodok" Jenderal MacArthur yakni bila waktunya tiba, kita akan menjadi besar, asal langkah kita terstruktur, sabar, dan konsisten, mau mengikuti langkah demi langkah, tidak melangkahi begitu saja. Suatu saat kita akan mengalami lompatan seperti kodok bila memang sudah tiba waktunya, termasuk dalam merengkuh kekuasaan dalam bidang politik.

Pemimpin negara atau negarawan harus dilahirkan secara alamiah. Mengutip bahasa wong ndeso, pemimpin itu tidak boleh "dikarbit".

Jadi, gunakanlan hati nurani anda dalam memilih pemimpin nasional Indonesia pada 9 Juli 2014 mendatang.

Hadiri Kampanye di Lampung, Anis Matta: Kita Putihkan Istana

Hari ini saya meliput kampanye Partai Keadilan Partai Sejahtera (PKS) di GOR Saburai Bandar Lampung yang menghadirkan Anis Matta sebagai Presden PKS. Berikut tulisannya. yang dimuat di www.mediawarga.info


****


BANDAR LAMPUNG (Media Warga Online)-Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta menghadiri kampanye terbuka PKS di GOR Saburai Bandar Lampung, Sabtu (22/03) siang.
Anis Matta tiba di GOR Saburai sekitar pukul 14.00 yang disambut meriah oleh ribuan kader dan simpatisan PKS. Anis Matta hadir bersama Sekjen PKS Taufik Ridho.

Dalam orasi politiknya, Anis Matta menyatakan kemenangan PKS sudah di depan mata, oleh karena itu seluruh kader  PKS harus bekerja keras untuk memenangkan PKS dalam pemilihan legislatif (Pileg) mendatang.


Anis Matta Pimpin Kampaye Terbuka di GOR Saburai Bandar Lampung, Sabtu (22/03) | Dok. Pribadi M. Ridwan
"Bau-bau Istana negara sudah tercium," Ungkap Anis Matta.

Menurut Anis Matta, giliran yang warna putih yang harus mendiami Istana negara karena warna merah, kuning, hijau, dan biru pernah mendiami Istana Negara. Anis Matta menjanjikan pemerintahan yang bersih dan sehat jika PKS memenangkan Pemilihan Presiden mendatang.

"PKS tahun ini akan menang! Mengapa? Karena Istana pernah rasa merah. Istana pernah rasa kuning. Istana pernah rasa hijau. Istana pernah rasa biru. Tapi Istana belum pernah rasa apa?" tanya Anis kepada 7 ribu kader yang memadati Gelanggang Olah Raga (GOR) Saburai. Seluruh GOR langsung bergemuruh dengan jawaban, "Putih!"

"Namun tiket untuk bisa mencalonkan kader terbaik PKS tergantung Pemilihan Legislatif mendatang" Tegas Anis Matta.

Oleh karena itu, Anis meminta kader PKS di Lampung bekerja keras untuk menambah kursi di DPR-RI.

"Saya harap Lampung bisa menyumbang minimal 4 kursi di DPR-RI" Ungkap Anis.

PKS Lampung pada Pileg tahun 2009 meraih 2 kursi untuk DPR-RI yang diwakili oleh Ustad Almuzzammil Yusuf dan Ustad Abdul Hakim.

Sementara itu, menurut Ketua DPW PKS Provinsi Lampung, Gufron Azis Fuadi,  elektabilitas PKS pada bulan Januari - Maret trend-nya terus naik.

"Butuh beberapa lompatan lagi bagi PKS untuk bisa meraih 3 besar" Ungkap Gufron  dalam orasi politiknya.

Dalam kampanye di GOR Saburai,  PKS tidak lagi melibatkan anak-anak terkait adanya himbauan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)yang melarang melibatkan anak-anak dalam kampanye Partai Politik.


Kader PKS Putihkan GOR Saburai Bandar Lampung

Kemarin, Sabtu (22/03) saya hadiri Kampanye terbuka Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Lampung yang dipusatkan di Gedung Olah Raga (GOR) Saburai Bandar Lampung, dihadiri kurang lebih 10 ribuan massa, Sabtu (22/3). Di dalam GOR massa PKS dipekirakan mencapai tujuh ribu orang. 

Selain memenuhi tribun, terlihat massa PKS juga menyemut diluar GOR. Kader dan Simpatisan  yang tak tertampung di dalam disediakan layar lebar agar tetap dapat mengikuti semua acara kampanye terbuka PKS.

Seperti diberitakan www.mediawarga.info,  Presiden PKS, Anis Mata,  memimpin kampanye terbuka di Lampung hari ini.  

Anis Matta tiba di GOR Saburai sekitar pukul 14.00 yang disambut meriah oleh ribuan kader dan simpatisan PKS. Anis Matta hadir bersama Sekjen PKS Taufik Ridho.

Dalam orasi politiknya, Anis Matta menyatakan kemenangan PKS sudah di depan mata, oleh karena itu seluruh kader  PKS harus bekerja keras untuk memenangkan PKS dalam pemilihan legislatif (Pileg) mendatang.

"PKS tahun ini akan menang! Mengapa? Karena Istana pernah rasa merah. Istana pernah rasa kuning. Istana pernah rasa hijau. Istana pernah rasa biru. Tapi Istana belum pernah rasa apa?" tanya Anis kepada 7 ribu kader yang memadati Gelanggang Olah Raga (GOR) Saburai. Seluruh GOR langsung bergemuruh dengan jawaban, "Putih!"

"Namun tiket untuk bisa mencalonkan kader terbaik PKS tergantung Pemilihan Legislatif mendatang" Tegas Anis Matta.

Anis meminta kader PKS di Lampung bekerja keras untuk menambah kursi di DPR-RI. "Saya harap Lampung bisa menyumbang minimal 4 kursi di DPR-RI" Ungkap Anis.

Berikut dokumentasi kampanye PKS di Bandar Lampung pada Sabtu (22/03).

Anis Matta Presiden PKS di Tengah Massa PKS

Kader dan Simpatisan PKS Memenuhi GOR Saburai

Massa PKS Putihkan GOR Saburai

 
Massa PKS Putihkan GOR Saburai

Foto : Dokumentasi Muhammad Ridwan
Sumber: www.mediawarga.info

Koalisi 3 Subkultur Politik Dalam Pilpres 2014

Di awal kemerdekaan Indonesia sampai berakhirnya era demokrasi terpimpin, ada 3 (tiga) subkultur politik di Indonesia yang dominan yakni Nasionalis pro Soekarno, Komunis dan Islam. Bahkan oleh Presiden Soekarno tiga subkultur politik tersebut disatukan dalam doktrin Nasakom.  

Partai Peserta Pemilu Legislatif 2014 (Sumber: Tribunnews.com)
Nasakom adalah singkatan dari Nasionalis, Agama dan Komunis. Menurut Wikipedia, teori Nasakom telah lahir dan dirumuskan oleh Soekarno sejak tahun 1926 yang pada saat itu diistilahkan dengan tiga hal pokok yakni “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Pada intinya ketiga hal tersebut dipersatukan dalam satu tujuan yaitu Gotong-royong (bekerja bersama-sama) untuk Revolusi Indonesia dalam melawan Imperialisme. Namun doktrin ini tidak berlaku lagi ketika orde baru berkuasa.

Di  era orde baru, pasca  Soekarno dilengserkan, Militer kemudian menggantikan posisi Komunis sebagai salahsatu kekuatan politik di Indonesia dan sangat mendominasi. Dua subkultur politik yang lainnya, yakni faksi Nasionalis warisan Soekarno  dan Islam, praktis hanya sebagai pelengkap saja. 

Untuk mengendalikan dua subkultur politik ini, pada tahun 1973 pemerintahan orde baru mengeluarkan kebijakan penyederhanaan partai melalui fusi partai politik yaitu dengan cara menyatukan  empat partai politik Islam, yaitu : NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam dan Perti bergabung menjadi Partai Persatu Pembangunan (PPP). Kemudian, lima partai lainnya yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Parati Katolik, Partai Murba dan Partai IPKI (ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Maka pada tahun 1977 hanya terdapat 3 organisasi kekuatan politik Indonesia dan terus berlangsung hinga pada pemilu 1997.

Setelah Orde Baru tumbang, pada pemilu tahun 1999, kita kembali kepada era multi partai. Tercatat 48 partai politik mengikuti pemilu 1999. Kemudian, pemilu di tahun 2004 di ikuti 24 partai politik dan pemilu tahun 2009 di ikuti 38 partai politik dan 6 partai lokal Aceh. Dan kini di tahun 2014, kembali digelar pemilihan umum yang akan di ikuti oleh 12 partai politik dan 3 partai lokal Aceh. 

Konstelasi politik dalam pemilu dari tahun 1999 - 2014, di dominasi oleh tiga subkultur Politik yakni, Islam, Nasionalis dan Militer. Walaupun militer sudah menanggalkan gelanggang politik sejak tahun 2004, ada fenomena menarik pada Pemilu 2004 dan 2009, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berlatarbelakang militer terpilih sebagai Presiden, dan banyak purnawirawan TNI yang berdiaspora atau menyebar ke berbagai partai politik untuk bertarung mendapatkan kursi di Parlemen. Jadi, kekuatan Subkultur Militer tetap ada dan kuat.

Di tahun 2014, tiga kekuatan subkultur politik ini menyebar di berbagai partai, yaitu:

1. Subkultur Nasionalis: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
2. Subkultur Islam : Islam Perkotaaan terdiri dari Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Kemudian Islam Tradisional terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
3. Subkultur Militer (Ketua Umum atau Capres dari purnawirawan militer): Partai Demokrat, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Koalisi antar Subkultur Politik dalam Pemilihan Presiden 2014

Menyimak hasil polling satu bulan terakhir, diprediksi Partai Golkar dan PDI-P akan bersaing dalam memperebutkan posisi 'jawara' dalam pemilu legislatif (Pileg) 2014. Kemudian Partai yang mengusung Capres dan Ketua umum dari purnawirawan militer juga akan memperoleh suara yang signifikan, khususnya Partai Gerindra. Sedangkan Partai-partai Islam ada diposisi papan bawah dalam Pileg 2014.

Melihat konstelasi tersebut, diprediksi peluang partai yang bisa mencalonkan Capres sendiri adalah PDI-P dan Partai Golkar, akan tetapi peluang terbesar sebagai pemenang pileg dan pilpres adalah PDI-P.

Namun, Pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) 2014 diprediksi tidak akan berlangsung satu putaran. Meskipun, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengusung Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden (capres).

Hal itu disampaikan pendiri Pusat Data Bersatu (PDB), Didik J Rachbini dalam diskusi bertema "Nasib Jakarta, Pasca Jokowi", di Jakarta, mengutip BeritaSatu.com, Selasa (18/3).

"Tampaknya pilpres tidak satu putaran. Walaupun PDI-P usung Jokowi, akan sulit menang satu putaran," kata Didik.

Dia menjelaskan, elektabilitas Jokowi mengalami penurunan dalam survei. "Jokowi pernah sampai di atas 30% elektabilitasnya, tapi terakhir ini turun sampai di bawah 30%. Penyebabnya adalah kritik yang menyebar dari mulut ke mulut jadi besar," tegas Didik.

Jika benar prediksi PDB tersebut, maka skenario koalisi Subkultur Politik putaran dua dalam Pilpres adalah sebagai berikut :

(1) Koalisi Nasionalis dengan Islam Tradisional Vs. Koalisi Militer (Prabowo) dengan Islam Perkotaan.
(2) Koalisi Nasionalis dengan Islam Perkotaan Vs. Koalisi Militer (Prabowo) dengan Islam Tradisional.
(3) Koalisi Nasionalis (PDI-P) dengan Militer (Wiranto/Jenderal Pro Mega) didukung Islam Tradisional Vs. Koalisi Militer (Prabowo) dengan Islam Perkotaan, didukung Golkar dan Demokrat.
(4) Koalisi Nasionalis (PDI-P) dengan Islam (Poros Tengah) didukung Militer (Wiranto) Vs. Koalisi Militer (Prabowo) dengan Nasionalis (Golkar) dan du dukung oleh Demokrat (SBY).
(5) Koalisi Nasionalis dengan Militer (Wiranto/Jenderal Pro Mega) Vs. Koalisi Militer (Prabowo) dengan Poros Tengah, didukung oleh Golkar dan Demokrat (SBY).

Peluang untuk menang diantara kekuatan tiga subkultur tersebut masih sama kuat. Jadi bohong, jika Jokowi dengan mudah memenangkan Pilpres 2014. Bagaimana dengan pendapat anda?

Oleh: Muhammad Ridwan
Kotabumi, 21 Maret 2014

Presiden SBY dan Politik Keseimbangan

Oleh : Muhammad Ridwan


Dalam sepekan di bulan Maret 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara marathon melakukan pertemuan dengan beberapa tokoh nasional dan tokoh media. Pertama, pertemuan Presiden SBY dengan Letjend (Purn) Prabowo Subianto selaku Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra pada Senin (11/3/2013). Kedua, pada Rabu (13/3/2013), Presiden SBY bertemu dengan tujuh Purnawirawan Jenderal, yaitu : Luhut Panjaitan, Subagyo HS, Fahrul Rozi, Agus Wijoyo, Johny Josephus, Sumardi, dan Suaidi Marasabessy. Ketiga, pertemuan dengan13 ormas Islam termasuk Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) pada Kamis (14/3/13). Dan terakhir, pertemuan dengan pimpinan media pada Jum'at (15/03/13).

Pertemuan Presiden dengan banyak kalangan tersebut, tentu mengundang banyak pertanyaan, ada apa?

2014: Indonesia Butuh Pemimpin Legal-Rasional

Riuh rendah pemilihan Presiden tahun 2014 sudah terasa. Beberapa kandidat Calon Presiden (Capres) sudah beredar di masyarakat. Bahkan beberapa partai sudah mendeklarasikan ketua umumnya, seperti Aburizal Bakri dari Partai Golkar, dan Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional (PAN). Beberapa nama lama masih masuk dalam bursa Capres, diantaranya Megawati Soekarno Putri, Jusuf Kalla, Wiranto, dan Prabowo Subianto.

Namun menariknya, muncul nama-nama baru dalam bursa Capres  yang menurut lembaga survei bisa jadi kuda hitam di tahun 2014. Diantaranya Joko Widodo, Dahlan Iskan, dan Mahfud MD. Tidak ketinggalan dari kalangan seniman-pun mencalonkan diri, yakni H. Rhoma Irama.

Lalu tipologi seperti apakah pimpinan nasional yang diharapkan rakyat Indonesia? Apakah yang ganteng, berwibawa, kharismatis, tegas, atau turunan pemimpin nasional sebelumnya?

Tipologi Kepemimpinan Menurut Max Weber

Menurut Max Weber ada tiga macam tipe kepemimpinan, yaitu tradisional, kharismatis, dan legal-rasional. Kepemimpinan tradisional semata-mata tergantung kepada kekeramatan tradisi masa lampau yang selalu diingat, dan kenyataan-kenyataan yang mendahului.

Kepemimpinan kharismatis menekankan kualitas yang unik dan luar biasa dari sang pemimpin. Kemudian legal-rasional bertumpu pada kekuatan Impersonal dan abstrak, cakupan tugas dan kekuasaannya berdasarkan dalam tata hukum, dan pemangku yang berkuasa mendapatkan kekuasaannya berkat hukum tersebut.

Kedudukan hukum membedakan ketiga tipe itu. Dalam kepemimpinan tradisional, hukum dipandang sebagai suci sehingga hak dan kewajiban hampir-hampir sama. Kepemimpinan kharismatis Tidak berdasar hukum, bersifat absolut, dan pemilihan staff berdasarkan loyalitas pada pemimpin atau entusiasme seseorang akan tujuan bersama. Dalam kepemimpinan legal-rasional hukum merupakan sistem yang sempurna, konsisten, dan komprehensif.

Tipologi Kepemimpinan Nasional di Indonesia.

Presiden Soekarno adalah Presiden yang legal-rasional di awal revolusi kemerdekaan Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, Presiden Soekarno berubah menjadi pemimpin yang tradisional, dan pada akhirnya menjadi pemimpin kharismatis dengan ditetapkannya sebagai Presiden seumur hidup dimasa demokrasi terpimpin.

Setali tiga uang dengan Presiden Soekarno, Presiden Soeharto-pun demikian. Pada awalnya, Presiden Soeharto adalah pemimpin legal-rasional sebagai antitesa Presiden Soekarno yang sudah jadi tokoh kharismatik. Namun, setelah lebih dari tiga dasawarsa dalam jabatannya, Presiden Soeharto berkembang menjadi tokoh kharismatis sekaligus tradisional.

Pasca reformasi, upaya mengkoreksi praktek tipe kepemimpinan yang tradisional dan kharismatis dilakukan dengan amandemen UUD 1945, yaitu dengan membatasi masa jabatan Presiden hanya sampai dua periode. Ditataran pemerintah daerah dikeluarkan Undang-undang (UU) Otonomi Daerah (Otda). Melalui Otda, setiap Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih langsung oleh rakyat.

Dilakukannya amandemen UUD 1945 dan pelaksanaan UU Otda bertujuan agar terpilih pemimpin dari jenjang nasional sampai Kabupaten/Kota yang legal-rasional. Dan harapan lebih lanjut, Birokrasi dibawahnya-pun diharapkan bersifat legal-rasional.

Namun,  fakta dilapangan sekarang sangat menyedihkan,  khususnya di Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Banyak Birokrat melihat jabatannya secara tradisional. Sudah rahasia umum, mulai jenjang nasional sampai Kabupaten/Kota banyak Pejabat eselon satu dan dua yang diangkat berdasarkan loyalitas atau kedekatan kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota. Padahal pejabat tersebut belum tentu punya kompetensi. Bahkan di beberapa daerah ada politik dinasti. Anak seorang Gubernur, bisa terpilih menjadi Bupati/Wakil Bupati, karena kharismatik orangtuanya. Atau Istri seorang Bupati bisa menjadi Bupati pada periode selanjutnya, menggantikan suaminya.

Lebih memperihatinkan lagi dalam seleksi calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Provinsi dan Kabupaten/Kota, penuh dengan ciri-ciri tradisional, dimana keluarga pejabat banyak yang lolos jadi PNS. Meminjam istilah Kuntowijoyo, nepotisme baru ini mirip aristokrasi tradisional : sentana dalem, rayi dalem, putra dalem. Birokrasi yang legal-rasional itu berdasarkan merit, keahlian, tidak berdasarkan loyalitas, atau stratifikasi sosial.

Birokrasi Indonesia masih jauh dari sifat legal-rasional, jika Pemimpin Indonesia mulai jenjang nasional sampai Kabupaten/Kota adalah tokoh kharismatis dan tradisional yang menjadikan loyalitas kepada seseorang masih menjadi ukuran. Konsep monoloyalitas mengakibatkan pemimpin yang kharismatik dan tradisional semena-mena dalam pengangkatan, pemindahan dan penurunan jabatan di birokrasi pemerintahan.

Di masa reformasi, walaupun masa jabatan Presiden dibatasi, tidak bisa menjamin munculnya pemimpin yang legal-rasional. Kemungkinan terpilih kembali pemimpin yang kharismatik, dan tradisional, masih sangat besar. Karena masyarakat kita masih melihat Capres dari Kegantengannya, kewibawaan, keunikan, kharismatik orangtua, dan popularitasnya saja. Masyarakat perlu di-edukasi memilih Presiden berdasarkan legal-rasional yang memiliki kesalihan individu dan sosial, serta kompetensi. Pemimpin kharismatik dan tradisional bisa muncul karena rakyat sendiri yang memilihnya.

Supaya rakyat tidak "membeli kucing dalam karung", mari kita pilih Presiden yang legal-rasional pada tahun 2014. Pilihan ada pada anda semua rakyat Indonesia.

Referensi tulisan : Artikel Kuntowijoyo, dalam Buku " Suara Amin Rais Suara Rakyat".

Muhammad Ridwan