|
Buruh Indonesia Rawan PHK |
Dalam
peninjauan realisasi PNPM Mandiri di Propinsi Jawa Barat, tanggal 05
Maret 2008, di Bogor, Presiden SBY mengungkapkan keprihatinannya
terhadap tayangan iklan yang mengangkat angka kemiskinan. Menurut
Presiden, iklan tersebut tidak proporsional, karena menggunakan data
Bank Dunia. Data tersebut, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data
yang dikeluarkan lembaga resmi Pemerintah, yaitu Biro Pusat Statistik
(BPS).
Pada
bulan Juli 2008, Pemerintah melalui BPS kembali merilis tentang data
kemiskinan terbaru. Pada Selasa (1/7/08), BPS mengumumkan jumlah
penduduk miskin pada Maret 2008, turun 2,21 juta orang dibandingkan
kondisi Maret 2007. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin saat itu
sebanyak 34,96 juta orang atau turun dibandingkan sebelumnya sebanyak
37.17 juta orang.
Seperti dilansir Harian Kompas (2/7/08), ada dua argumentasi yang diungkapkan BPS. Pertama, penurunan angka kemiskinan terjadi di pedesaan, yang disebabkan kestabilan harga beras dan kenaikan riil upah Petani periode Maret 2007 - Maret 2008. Kedua,
inflasi umum pada Maret 2008 terhadap Maret 2007 relatif stabil, yakni
8,17 persen dan rata-rata harga beras turun 3,01 persen pada periode
yang sama. Kemudian analisa BPS diperkuat dengan data, bahwa 63 persen
penduduk miskin tinggal di desa dan sebagian besar bekerja di sektor
pertanian.
Rillis
terbaru Pemerintah pada tahun 2008, kembali menuai kritik dari beberapa
pengamat ekonomi, diantaranya dari Hendri Saparini.
”Menggunakan
beras sebagai barometer pengukur angka kemiskinan, merupakan
penyederhanaan persoalan, walaupun ada program raskin dan bantuan
langsung tunai untuk menutupi kebutuhan 2000 kalori/hari untuk konsumsi,
tapi belum memperhitungkan kualitas hidup masyarakat”, Ungkap Hendri
Saparini, dilansir Harian Kompas (2/8/08).
Wajar
jika Presiden SBY prihatin, sebab angka kemiskinan bisa mempengaruhi
opini publik, apalagi iklan tersebut bermotif politik menjelang Pemilu
2009.
Terjadi kontroversi, ketika Bank Dunia meluncurkan laporan kemiskinan yang berjudul "Era Baru Pengentasan Kemiskinan di Indonesia"
yang di dalamnya mengungkapkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia
hampir separuhnya dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan BPS
mengeluarkan data kemiskinan sekitar 39,1 juta orang.
Seperti
dilansir Majalah Tempo (21/01/07), dalam sebuah artikel, Ekonom Bank
Dunia, DR. Vivi Alatas menguraikan jawaban dari dua pertanyaan besar
yang selama ini menjadi kontroversi seputar data kemiskinan yang
dikeluarkan oleh Bank Dunia. Pertama, Kenapa data kemiskinan Bank Dunia
jauh lebih tinggi dibandingkan data BPS? Kedua, kriteria kemiskinan apa
yang digunakan oleh Bank Dunia?
Dalam artikel DR. Vivi Alatas, akhirnya terungkap bahwa Bank Dunia mengunakan dua kriteria dalam menentukan garis kemiskinan. Pertama, menggunakan garis kemiskinan nasional yang didasarkan pada pola konsumsi 2.100 kalori per hari. Kedua,
garis kemiskinan internasional berdasarkan PPP (purchasing power
parity) US$ 1 dan US$ 2. Bank Dunia menggunakan keduanya, masing -
masing untuk tujuan analisis yang berbeda.
Garis
kemiskinan nasional yang dikeluarkan BPS yang berdasarkan pola
konsumsi, digunakan Bank Dunia untuk menganalisis profil kemiskinan,
penyebab kemiskinan dan telaah strategi atau program antikemiskinan di
sebuah Negara. Namun Parameter kemiskinan yang digunakan oleh suatu
negara tidak bisa digunakan oleh negara lain. Oleh karena itu dibuatlah
garis kemiskinan internasional dalam bentuk nilai tukar PPP US$ 1 dan
US$ 2, sebagai standar internasional yang bisa diterapkan diseluruh
negara.
Menurut
DR. Vivi Alatas, Nilai tukar PPP US$ 1 mempunyai pengertian berapa
rupiah yang diperlukan untuk membeli barang dan jasa, yang bisa di beli
dengan satu dollar di Amerika Serikat. Nilai tukar ini dihitung secara
berkala dari data harga dan kuantitas konsumsi sejumlah barang dan jasa
untuk setiap Negara. Dari perhitungan tersebut ditemukan bahwa 7,4
persen penduduk Indonesia mengkonsumsi di bawah PPP US$ 1 per hari dan
49 persen di bawah PPP US$ 2 per hari.
Angka
49 persen tingkat kemiskinan inilah yang jadi kontroversi, namun angka
ini jauh lebih baik dibandingkan tahun 1999, dimana sekitar 75 persen
masyarakat Indonesia mengkonsumsi di bawah PPP US$ 2 per hari.
Dibandingkan
dengan Negara tetangga, tingkat kemiskinan PPP US$ 1 Indonesia
sebanding dengan China (8 persen), sedikit di bawah Filipina (9,6
persen) dan sedikit di atas Vietnam (6,2 persen). Namun untuk posisi
dengan standar US$ 2 per hari, Indonesia jauh lebih tinggi (49 persen),
Bandingkan dengan konsumsi PPP US$ 2 China (26 persen), Filipina (39,3
persen) dan Vietnam (39,7 persen).
Dari data di atas, kita bisa analisis bersama, di Indonesia ada gap
pendapatan yang sangat besar antara pendapatan US$ 1 (7,4 persen)
dengan pendapatan di bawah US$ 2 (49 persen). Menurut DR. Vivi Alatas,
besarnya selisih pendapatan US$ 1 dengan pendapatan US$ 2 atau 41,6%,
mencerminkan tingginya kerentanan kemiskinan di Indonesia. Jadi, ada
sekita 41,6% rakyat Indonesia rentan jatuh miskin, karena sejumlah besar
hidup diantara pendapatan US$ 1 dan US$ 2 atau setara dengan US$ 1,5
per hari. Oleh karena itu, kenaikan harga BBM dan inflasi, gagal panen
karena perubahan iklim, bencana alam, sakitnya anggota keluarga dan
kehilangan pekerjaan dapat dengan mudah menjatuhkan rakyat Indonesia ke
bawah garis kemiskinan.
Menurut
DR. Vivi Alatas, diperlukan dua strategi utama dalam rangka langkah
antisipatif menghadapi besarnya dinamika keluar masuk kemiskinan, serta
tingginya kerentanan kemiskinan.
Pertama,
memastikan penduduk miskin dapat memanfaatkan peluang - peluang
pertumbuhan dengan baik melalui pemeliharaan stabilitas makro ekonomi,
peningkatan kemampuan penduduk miskin melalui investasi pendidikan baik
formal maupun non-formal, peningkatan akses masyarakat miskin terhadap
kredit, infrastruktur, telekomunikasi, dan peluang kerja di sektor
formal. Strategi kedua adalah, memastikan penduduk miskin, dalam
mengatasi musibah yang menimpa mereka, tidak terjebak pada pilihan
tindakan yang memiliki dampak buruk bagi masa depan mereka dan masa
depan anak - anaknya.
Menurut DR. Vivi Alatas, kita bisa belajar dari pengalaman negara - negara Amerika Latin yang menjalankan program Conditional Cash Transfer
(CCT). CCT adalah program bantuan tunai kepada keluarga miskin dengan
prasyarat anak mereka bersekolah, dan balita serta ibu hamil harus
mengikuti sejumlah protokol kesehatan yang ditetapkan.
Kalau
kita amati, sejak awal, Pemerintahan SBY menjalankan strategi tersebut.
Strategi itu diwujudkan dengan diluncurkannya Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), program CCT dalam bentuk
Program Keluarga Harapan (PKH). Untuk memudahkan akses terhadap kredit
mikro, diluncurkannya program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Untuk bantuan
yang sifatnya langsung, di bidang pendidikan ada Program Biaya
Operasional Sekolah (BOS,) dibidang kesehatan ada program Jamkesmas.
Kemudian ada pula program yang menjadi kontroversi sampai detik ini,
yaitu program cash assistant (Bantuan Langsung Tunai).
Intinya, harus ada sebuah program yang mampu menjamin keberlanjutan penghidupan masyarakat (livelihood) baik
program peningkatan pendapatan, akses kepada kebutuhan dasar (sandang,
pendidikan, kesehatan, perumahan), dan lain sebagainya.
Kesimpulan dari pemaparan diatas, adanya
disparitas (perbedaan) dalam menentukan angka kemiskinan antara
Pemerintah dan Bank Dunia, disebabkan adanya perbedaan dalam
menganalisis profil kemiskinan dan penyebab kemiskinan, sehingga ada
perbedaan dalam menetapkan garis kemiskinan nasional.
Namun
dibalik perdebatan mengenai angka kemiskinan, Pemerintahan SBY sudah
membangun jembatan yang kokoh untuk generasi berikutnya, dalam
perencanaan program penanggulangan kemiskinan. Melalui PNPM Mandiri,
dengan memusatkan perhatian pada beberapa bidang prioritas, Indonesia
memiliki kesempatan emas untuk membantu 34,96 juta penduduknya lepas
dari jerat kemiskinan, dan juga mencegah sejumlah besar penduduk
Indonesia yang saat ini tidak miskin, terjerembab ke dalam kemiskinan.
Karena tanpa program kemiskinan yang terpadu dan terencana, niscaya
banyak orang miskin baru di Indonesia, di tengah ekonomi global yang
tidak kondusif.
*) Muhammad Ridwan, Konsultan PNPM Mandiri Perkotaan Provinsi Lampung.
Referensi Tulisan:
1. Seberapa Miskin Kita; Dr. Vivi Alatas, Majalah Tempo Edisi Januari 2007.
2. Harian Kompas, 02 Juli 2008.
3. Memahami Masalah Kemiskinan di Indonesia; Dr. Vivi Alatas, www.indovop.org.
Catatan: Data diatas masih menggunakan data tahun 2008.
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
Tulisan terkait :
Notes From Lampung : NKRI Harga Mati Vs. Kesejahteraan Rakyat.