ooooOoooo
Setelah
beristirahat dipuncak tertinggi Bukit Hambalang, selanjutnya kami
langsung menuju rumah Bibi yang jaraknya tidak jauh dari tempat kami
Istirahat.
Setelah
sampai, kami disambut dengan rimbunnya pepohonan dan kolam ikan yang
lumayan luas. Ah, inilah yang saya cari, memancing Ikan!
he..he..sekaligus refreshing akhir tahun.
Setelah
melepas kangen dan mengobrol-ngobrol, saya dan adik coba melepaskan
penat dengan memancing ikan dikolam. Alhamdulillah, beberapa ekor Ikan
Patin memakan umpannya. Lumayan kami berdua dapat sebelas ikan. Hasil
mancingnya langsung dimasak oleh Bibi. Akhirnya kami makan bersama
dengan goreng ikan Patin. Nasinya nasi liwet. Sudah lama saya tidak mencicipi nasi tersebut. Makan bersama dengan alas satu nampan ini, disebut "ngaliwet". Enak sekali, karena ada sambel dan lalapnya. Ciri khas Sunda sekali.
Setelah
makan bersama, saya minta izin bersilaturahmi ke rumah seorang tokoh
masyarakat Desa Hambalang yang kebetulan saya kenal sejak dulu, dalam
rangka menggali informasi tentang sejarah Desa Hambalang.
Alhamdulillah beliau bersedia diwawancarai dengan syarat namanya tidak ditulis. Kita sebut saja dengan panggilan "Pak Haji".
Menurut beliau, Desa Hambalang
sekarang sangat jauh berbeda, sudah banyak pendatangnya. Sekarang jumlah
penduduknya sekitar 11.371 jiwa dan tercatat ada 2.758 kepala keluargaKalau
saya amati, Desa Hambalang cukup asri, rumah-rumahnya cukup tertata rapi. Jalan-jalan
lingkungannya, rata-rata sudah dibeton.
Lokasi Desa Hambalang cukup strategis, karena
secara geografis terletak di perbatasan dua Kecamatan yaitu Kecamatan
Citeureup dan Babakan Madang. Di Sebelah Utara, berbatasan Desa Karang
Tengah dan disebelah selatan dengan Desa Sumur Batu (Keduanya masuk
wilayah kecamatan Babakan Madang). Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Tajur dan di sebelah barat dengan Desa Tangkil yang masuk wilayah Kecamatan Citeureup.
Kalau
anda ingin berkunjung ke Desa Hambalang, Jaraknya tidak terlalu jauh
dari Ibu Kota Kecamatan di Citeureup, sekitar 10-12 Km dengan waktu
tempuh sekitar 30 menit menggunakan kendaraan bermotor. Akses ke Desa
Hambalang ada dua, yaitu dapat ditempuh melalui Jalan Raya Pahlawan
(Jalan Raya Citeureup-Babakan Madang), kemudian belok kiri melalui Jalan
Desa Leuwinutug melewati Desa Tangkil atau bisa melalui Desa Tarikolot
lewat Jalan Raya Tajur.
Transportasi
ke Desa Hambalang dapat dikatakan cukup sulit, karena tidak adanya
kendaraan umum yang melintas, selain ojek atau mobil bak terbuka yang
mengangkut hasil bumi dari Desa Hambalang. Angkutan Umum dari Terminal
Citeureup hanya sampai ke Pasar Ciplak yang terletak di Desa Tajur.
Selanjutnya bisa menggunakan jasa ojeg dengan biaya sekira Rp. 5.000.-
Rp. 20.000,- (tergantung jarak tempuh).
Hambalang Dari Masa Ke Masa.
Bicara
tentang wilayah Kecamatan Citeureup (termasuk Hambalang) yang merupakan
tanah kelahiran saya, tak lengkap rasanya bila tidak mengetahui
asal-usulnya.
Saya
sangat tertarik dengan sejarah Desa Hambalang dan wilayah Citeureup,
sehingga saya minta lebih lanjut kepada "Pak Haji" menceritakan tentang
sejarah kecamatan Citeureup dan Desa Hambalang.
Sambil
menghisap sebatang rokok kretek, beliau bercerita, Citeureup dahulunya
merupakan hutan belantara. Daerah ini kemudian dibuka oleh seorang
pejuang serta penyebar agama Islam dari Banten. Beliau adalah Pangeran
Shoheh, penduduk lokal menyebutnya dengan nama Eyang Sake.
Dari
literature sejarah, Pangeran Shoheh adalah salah satu putra Sultan
Banten yakni Sultan Ageng Tirtayasa. Pangeran Shoheh bersama dengan
saudara kandungnya, Pangeran Sugiri mendapat tugas dari Ayahandanya
menyerang Kompeni Belanda di Batavia tahun 1682. Namun, Banten akhirnya
takluk kepada VOC Belanda, karena politik adu domba antara Sultan Ageng
Tirtayasa dan salah satu putranya sendiri, yakni Sultan Haji. Melihat
Kesultanan Banten telah jatuh kepada VOC, maka Pangeran Shoheh tidak
kembali ke Banten. Namun membuka lahan dan menetap yang sekarang dikenal
dengan wilayah Citeureup. Sedangkan saudaranya, Pangeran Sogiri,
membuka lahan dan menetap sampai wafat didaerah yang dikenal dengan nama
Jatinegara Kaum (Jakarta). Sedanglan Makam Pangeran Shoheh terletak di
Desa Karang Asem Timur Kecamatan Citeureup. Tempatnya mudah untuk
dikunjungi.
Pernah
suatu waktu, saya ditunjukan Silsilah Pangeran Shoheh oleh orangtua.
Ternyata masih ada silsilah (turunan) dari beliau. Hal tersebut diamini
oleh "Pak Haji", bahwa Nenek saya dari Cipambuan-Babakan Madang masih
keturunan langsung Pangeran Shoheh. Lebih lanjut beliau menceritakan,
Pangeran Shoheh merupakan pemilik Perkebunan Tjitrap, yang kini dikenal
dengan nama Citeureup. Dan wilayah Hambalang masih termasuk areal
perkebunan Tjitrap tersebut.
Kemudian
beliau menceritakan, entah kenapa, wilayah Perkebunan Tjitrap pada masa
penjajahan Belanda sebagian besar jatuh kepada tuan tanah Belanda, yang
bernama Mayor Yance. Menurut “inohong” (Tokoh Masyarakat) Desa
Hambalang tersebut, jatuhnya sebagian lahan tersebut ke Belanda karena ada semacam perjanjian yang disebut dengan ‘Kontrak Baron”.
Sampai
saat ini, saya belum menemukan literature yang menjelaskan tentang
“Kontrak Baron” tersebut. Saya baru menemukan literatur Mayor Yance dari
www.citeureup.net.
Menurut
situs tersebut, Mayor Jantje (Yance ejaan lama-red) adalah seorang
Mardijker ( sebutan bekas budak belian/para tawanan yang umumnya berasal
dari Asia Selatan, Benggala) yang telah dibebaskan setelah bersedia
pindah agama dari Katholik ke Protestan. Mardijker bisa dipadankan
dengan istilah “orang-orang yang merdeka”. Mayor Jantje bernama asli
Augustijn Michiels (1769-1833). Banyak orang yang belum mengenalnya,
padahal dalam sejarah Batavia, dia-lah tokoh dari abad 19 yang sangat
terkenal. Orang menjulukinya “de rijkste grondeigenaar van Java” atau
pemilik tanah terkaya di Jawa. Beberapa tanah luas berada di bawah
kepemilikannya seperti: Tjitrap (Citeureup), Cileungsi, Cimapag,
Cipamingkis, Cibarusa, Tanah Baru, Sukaraja, Nanggewer dan terutama
Klapa Nunggal dengan sarang burung waletnya sebagai sumber kekayaan yang
terus mengalir tiada henti. Julukan Mayor diberikan kepadanya setelah
ia mengakhiri karier militer selama 20 tahun, memimpin sebuah pasukan
kaum Papang (merujuk nama suku Papango di Luzon, Philipina) bentukan
pemerintah kolonial.
Menurut
"Pak Haji", dulu di wilayah Tjitrap (Citeureup), ada Istana megah
peninggalan Mayor Jantje, disebut dengan Gedung Bundar. Istana yang
sangat artistik di Tjitrap itu akhirnya dihancurkan, sekitar tahun 1943,
bukan oleh Pemerintah Kolonial tapi oleh masyarakat Citeureup yang
ketakutan Belanda datang lagi untuk menjajah. Selain itu, kelaparan
massal saat penjajahan Jepang, membuat rakyat saat itu nekat
menghancurkan bangunan yang sudah ada sejak abad ke 18 itu.
Zaman Gedor atau zaman Gedug menandai berakhirnya kekuasaan tuan tanah yang menghuni Istana Tjitrap sejak awal abad 18.
Itulah
sekelumit sejarah dari wilayah Tjitrap (Citeureup) sejak era Pangeran
Shoheh sampai era Mayor Jantje (sebelum era Kemerdekaan) yang
diceritakan tokoh masyarakat yang saya hormati tersebut.
Wilayah Tjitrap (Citeureup) Pasca Kemerdekaan.
Dari
literatur yang saya telusuri, Pasca kemerdekaan, di era Soekarno,
dilakukan nasionalisasi atas perkebunan-perkebunan ex tuan tanah Belanda
tersebut yang ada wilayah Tjitrap (Citeureup). Tanah Tanah perkebunan
tersebut diambil alih oleh Pemerintah Indonesia, dibawah Perusahaan
Perkebunan Nasional (sekarang dikenal dengan PTPN). Perusahaan
Perkebunan Nasional/PTPN di wilayah Citeureup (termasuk Hambalang)
mengelola perkebunan Karet, Cengkeh, Pala dan lain-lain. Hanya sebagian
kecil yang digarap masyarakat sejak era 60-an.
Keterangan Photo : Papan Informasi yang Menyatakan bahwa Tanah Tersebut Tanah Pemerintah yang Digarap Masyarakat di Bukit Hambalang.
Pada
masa Orde Baru, ketika ada pengalihan besar-besaran perkebunan ke luar
Jawa (Termasuk Perkebunan Karet), PTPN di Citeureup kemudian ditutup.
Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan Hak Guna Usaha (HGU) atas
tanah-tanah ex-PTPN mulai dari Depok, Tajurhalang, Bojonggede,
Sukahati-Karadenan (Cibinong), Leuwibilik -Hambalang (Citeureup) dan
tempat lainnya kepada Perusahaan Swasta, Yayasan maupun Perorangan.
Di
Bukit Hambalang dan sekitarnya, tanah HGU ex-PTPN tersebut dikuasai
oleh keluarga besar yang masih ada hubungannya dengan penguasa orde
baru, diantaranya Probosutedjo. Menurut "Pak Haji", Probosutedjo
menguasai lebih dari 10.000 hektar tanah di daerah Leuweung Hideung
Hambalang (Termasuk tanah yang dibangun Komplek Pusat Pendidikan,
Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional yang masih diselidiki KPK dan
Komplek Pusat Pelatihan Pasukan Perdamaian Tentara Nasional Indonesia
sekaligus Pusat Pendidikan Penanggulangan Terorisme serta akan dibangun
Universitas Pertahanan Indonesia).
Konflik Agraria
Diskusi
tentang sejarah Hambalang dan Citeureup semakin menarik, tidak terasa
satu gelas kopi hitam sudah habis. Seandainya saya merokok mungkin,
sudah habis juga beberapa batang rokok he..he..
Selanjutnya
saya minta kepada inohong Hambalang Tadi menceritakan soal Konflik
Agraria yang terjadi di Hambalang dan daerah sekitarnya. Karena dari
informasi yang saya dapat sebelumnya, pengalihan tanah-tanah ex-PTPN
kepada Swasta dan Yayasan dalam bentuk HGU di daerah tersebut, ternyata
menimbulkan banyak sengketa antara pemilik tanah HGU dengan penduduk
lokal pemilik tanah yang merasa punya sertifikat serta penggarap lahan.
Ada beberapa kasus yang tidak pernah terungkap kaitannya dengan Konflik
Agraria pada era Orde Baru, di daerah Hambalang dan sekitarnya (Desa
Tangkil, Sentul, Babakan Madang, Muara Beres dll). Konflik tersebut
sangat merugikan masyarakat dan diindikasikan ada pelanggaran HAM berat.
Saya akan bahas permasalahan konflik agraria tersebut pada tulisan
selanjutnya, Ada Udang di balik (Bukit) Hambalang-Bagian Pertama.
(Bersambung).
Dari Bukit Hambalang Memandang Tanah Kelahiran
Reperensi Tulisan :
Sumber Photo : Dokumentasi Pribadi
0 komentar