Slider

Kolom Muhammad Ridwan

PNPM Mandiri

Media Sosial

Review Film

Berita

Kuliner

» » » » Dari Bukit Hambalang Memandang Tanah Kelahiran [Bagian Kedua]

1357905787238210845
Keterangan Photo : Lahan Perkebunan di Bukit Hambalang dengan Latar Komplek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional.

Tulisan kali ini merupakan lanjutan dari tulisan saya sebelumnya. Ditulisan bagian kedua ini, saya lebih membahas sisi lain Bukit Hambalang dan daerah sekitarnya dari masa ke masa. Mulai era sebelum kemerdekaan sampai era Orde Baru.

ooooOoooo

Setelah beristirahat dipuncak tertinggi Bukit Hambalang, selanjutnya kami langsung menuju rumah Bibi yang jaraknya tidak jauh dari tempat kami Istirahat.

Setelah sampai, kami disambut dengan rimbunnya pepohonan dan kolam ikan yang lumayan luas. Ah, inilah yang saya cari, memancing Ikan! he..he..sekaligus refreshing akhir tahun.

Setelah melepas kangen dan mengobrol-ngobrol, saya dan adik coba melepaskan penat dengan memancing ikan dikolam. Alhamdulillah, beberapa ekor Ikan Patin memakan umpannya. Lumayan kami berdua dapat sebelas ikan. Hasil mancingnya langsung dimasak oleh Bibi. Akhirnya kami makan bersama dengan goreng ikan Patin. Nasinya nasi liwet. Sudah lama saya tidak mencicipi nasi tersebut. Makan bersama dengan alas satu nampan ini, disebut "ngaliwet". Enak sekali, karena ada sambel dan lalapnya. Ciri khas Sunda sekali.

1357965827202681889

                                          Kolam Ikan di Bukit Hambalang

Setelah makan bersama, saya minta izin bersilaturahmi ke rumah seorang tokoh masyarakat Desa Hambalang yang kebetulan saya kenal sejak dulu, dalam rangka menggali informasi tentang sejarah Desa Hambalang.

Alhamdulillah beliau bersedia diwawancarai dengan syarat namanya tidak ditulis. Kita sebut saja dengan panggilan "Pak Haji".

Menurut beliau, Desa Hambalang sekarang sangat jauh berbeda, sudah banyak pendatangnya. Sekarang jumlah penduduknya sekitar 11.371 jiwa dan tercatat ada 2.758 kepala keluargaKalau saya amati, Desa Hambalang cukup asri, rumah-rumahnya cukup tertata rapi. Jalan-jalan lingkungannya, rata-rata sudah dibeton.

Lokasi Desa Hambalang cukup strategis, karena secara geografis terletak di perbatasan dua Kecamatan yaitu Kecamatan Citeureup dan Babakan Madang. Di Sebelah Utara, berbatasan Desa Karang Tengah dan disebelah selatan dengan Desa Sumur Batu (Keduanya masuk wilayah kecamatan Babakan Madang). Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Tajur dan di sebelah barat dengan Desa Tangkil yang masuk wilayah Kecamatan Citeureup.

Kalau anda ingin berkunjung ke Desa Hambalang, Jaraknya tidak terlalu jauh dari Ibu Kota Kecamatan di Citeureup, sekitar 10-12 Km dengan waktu tempuh sekitar 30 menit menggunakan kendaraan bermotor. Akses ke Desa Hambalang ada dua, yaitu dapat ditempuh melalui Jalan Raya Pahlawan (Jalan Raya Citeureup-Babakan Madang), kemudian belok kiri melalui Jalan Desa Leuwinutug melewati Desa Tangkil atau bisa melalui Desa Tarikolot lewat Jalan Raya Tajur.

Transportasi ke Desa Hambalang dapat dikatakan cukup sulit, karena tidak adanya kendaraan umum yang melintas, selain ojek atau mobil bak terbuka yang mengangkut hasil bumi dari Desa Hambalang. Angkutan Umum dari Terminal Citeureup hanya sampai ke Pasar Ciplak yang terletak di Desa Tajur. Selanjutnya bisa menggunakan jasa ojeg dengan biaya sekira Rp. 5.000.- Rp. 20.000,- (tergantung jarak tempuh).

Hambalang Dari Masa Ke Masa.

Bicara tentang wilayah Kecamatan Citeureup (termasuk Hambalang) yang merupakan tanah kelahiran saya, tak lengkap rasanya bila tidak mengetahui asal-usulnya.

Saya sangat tertarik dengan sejarah Desa Hambalang dan wilayah Citeureup, sehingga saya minta lebih lanjut kepada "Pak Haji" menceritakan tentang sejarah kecamatan Citeureup dan Desa Hambalang.

Sambil menghisap sebatang rokok kretek, beliau bercerita, Citeureup dahulunya merupakan hutan belantara. Daerah ini kemudian dibuka oleh seorang pejuang serta penyebar agama Islam dari Banten. Beliau adalah Pangeran Shoheh, penduduk lokal menyebutnya dengan nama Eyang Sake.

Dari literature sejarah, Pangeran Shoheh adalah salah satu putra Sultan Banten yakni Sultan Ageng Tirtayasa. Pangeran Shoheh bersama dengan saudara kandungnya, Pangeran Sugiri mendapat tugas dari Ayahandanya menyerang Kompeni Belanda di Batavia tahun 1682. Namun, Banten akhirnya takluk kepada VOC Belanda, karena politik adu domba antara Sultan Ageng Tirtayasa dan salah satu putranya sendiri, yakni Sultan Haji. Melihat Kesultanan Banten telah jatuh kepada VOC, maka Pangeran Shoheh tidak kembali ke Banten. Namun membuka lahan dan menetap yang sekarang dikenal dengan wilayah Citeureup. Sedangkan saudaranya, Pangeran Sogiri, membuka lahan dan menetap sampai wafat didaerah yang dikenal dengan nama Jatinegara Kaum (Jakarta). Sedanglan Makam Pangeran Shoheh terletak di Desa Karang Asem Timur Kecamatan Citeureup. Tempatnya mudah untuk dikunjungi.

Pernah suatu waktu, saya ditunjukan Silsilah Pangeran Shoheh oleh orangtua. Ternyata masih ada silsilah (turunan) dari beliau. Hal tersebut diamini oleh "Pak Haji", bahwa Nenek saya dari Cipambuan-Babakan Madang masih keturunan langsung Pangeran Shoheh. Lebih lanjut beliau menceritakan, Pangeran Shoheh merupakan pemilik Perkebunan Tjitrap, yang kini dikenal dengan nama Citeureup. Dan wilayah Hambalang masih termasuk areal perkebunan Tjitrap tersebut.

Kemudian beliau menceritakan, entah kenapa, wilayah Perkebunan Tjitrap pada masa penjajahan Belanda sebagian besar jatuh kepada tuan tanah Belanda, yang bernama Mayor Yance. Menurut “inohong” (Tokoh Masyarakat) Desa Hambalang tersebut, jatuhnya sebagian lahan tersebut ke Belanda karena ada semacam perjanjian yang disebut dengan ‘Kontrak Baron”.

Sampai saat ini, saya belum menemukan literature yang menjelaskan tentang “Kontrak Baron” tersebut. Saya baru menemukan literatur Mayor Yance dari www.citeureup.net.

Menurut situs tersebut, Mayor Jantje (Yance ejaan lama-red) adalah seorang Mardijker ( sebutan bekas budak belian/para tawanan yang umumnya berasal dari Asia Selatan, Benggala) yang telah dibebaskan setelah bersedia pindah agama dari Katholik ke Protestan. Mardijker bisa dipadankan dengan istilah “orang-orang yang merdeka”. Mayor Jantje bernama asli Augustijn Michiels (1769-1833). Banyak orang yang belum mengenalnya, padahal dalam sejarah Batavia, dia-lah tokoh dari abad 19 yang sangat terkenal. Orang menjulukinya “de rijkste grondeigenaar van Java” atau pemilik tanah terkaya di Jawa. Beberapa tanah luas berada di bawah kepemilikannya seperti: Tjitrap (Citeureup), Cileungsi, Cimapag, Cipamingkis, Cibarusa, Tanah Baru, Sukaraja, Nanggewer dan terutama Klapa Nunggal dengan sarang burung waletnya sebagai sumber kekayaan yang terus mengalir tiada henti. Julukan Mayor diberikan kepadanya setelah ia mengakhiri karier militer selama 20 tahun, memimpin sebuah pasukan kaum Papang (merujuk nama suku Papango di Luzon, Philipina) bentukan pemerintah kolonial.

Menurut "Pak Haji", dulu di wilayah Tjitrap (Citeureup), ada Istana megah peninggalan Mayor Jantje, disebut dengan Gedung Bundar. Istana yang sangat artistik di Tjitrap itu akhirnya dihancurkan, sekitar tahun 1943, bukan oleh Pemerintah Kolonial tapi oleh masyarakat Citeureup yang ketakutan Belanda datang lagi untuk menjajah. Selain itu, kelaparan massal saat penjajahan Jepang, membuat rakyat saat itu nekat menghancurkan bangunan yang sudah ada sejak abad ke 18 itu.

Zaman Gedor atau zaman Gedug menandai berakhirnya kekuasaan tuan tanah yang menghuni Istana Tjitrap sejak awal abad 18.

Itulah sekelumit sejarah dari wilayah Tjitrap (Citeureup) sejak era Pangeran Shoheh sampai era Mayor Jantje (sebelum era Kemerdekaan) yang diceritakan tokoh masyarakat yang saya hormati tersebut.

Wilayah Tjitrap (Citeureup) Pasca Kemerdekaan.

Dari literatur yang saya telusuri, Pasca kemerdekaan, di era Soekarno, dilakukan nasionalisasi atas perkebunan-perkebunan ex tuan tanah Belanda tersebut yang ada wilayah Tjitrap (Citeureup). Tanah Tanah perkebunan tersebut diambil alih oleh Pemerintah Indonesia, dibawah Perusahaan Perkebunan Nasional (sekarang dikenal dengan PTPN). Perusahaan Perkebunan Nasional/PTPN di wilayah Citeureup (termasuk Hambalang) mengelola perkebunan Karet, Cengkeh, Pala dan lain-lain. Hanya sebagian kecil yang digarap masyarakat sejak era 60-an.

1357905598817856791

Keterangan Photo : Papan Informasi yang Menyatakan bahwa Tanah Tersebut Tanah Pemerintah yang Digarap Masyarakat di Bukit Hambalang.


Pada masa Orde Baru, ketika ada pengalihan besar-besaran perkebunan ke luar Jawa (Termasuk Perkebunan Karet), PTPN di Citeureup kemudian ditutup. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah-tanah ex-PTPN mulai dari Depok, Tajurhalang, Bojonggede, Sukahati-Karadenan (Cibinong), Leuwibilik -Hambalang (Citeureup) dan tempat lainnya kepada Perusahaan Swasta, Yayasan maupun Perorangan.

Di Bukit Hambalang dan sekitarnya, tanah HGU ex-PTPN tersebut dikuasai oleh keluarga besar yang masih ada hubungannya dengan penguasa orde baru, diantaranya Probosutedjo. Menurut "Pak Haji", Probosutedjo menguasai lebih dari 10.000 hektar tanah di daerah Leuweung Hideung Hambalang (Termasuk tanah yang dibangun Komplek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional yang masih diselidiki KPK dan Komplek Pusat Pelatihan Pasukan Perdamaian Tentara Nasional Indonesia sekaligus Pusat Pendidikan Penanggulangan Terorisme serta akan dibangun Universitas Pertahanan Indonesia).

Konflik Agraria


Diskusi tentang sejarah Hambalang dan Citeureup semakin menarik, tidak terasa satu gelas kopi hitam sudah habis. Seandainya saya merokok mungkin, sudah habis juga beberapa batang rokok he..he..

Selanjutnya saya minta kepada inohong Hambalang Tadi menceritakan soal Konflik Agraria yang terjadi di Hambalang dan daerah sekitarnya. Karena dari informasi yang saya dapat sebelumnya, pengalihan tanah-tanah ex-PTPN kepada Swasta dan Yayasan dalam bentuk HGU di daerah tersebut, ternyata menimbulkan banyak sengketa antara pemilik tanah HGU dengan penduduk lokal pemilik tanah yang merasa punya sertifikat serta penggarap lahan. Ada beberapa kasus yang tidak pernah terungkap kaitannya dengan Konflik Agraria pada era Orde Baru, di daerah Hambalang dan sekitarnya (Desa Tangkil, Sentul, Babakan Madang, Muara Beres dll). Konflik tersebut sangat merugikan masyarakat dan diindikasikan ada pelanggaran HAM berat. Saya akan bahas permasalahan konflik agraria tersebut pada tulisan selanjutnya, Ada Udang di balik (Bukit) Hambalang-Bagian Pertama. (Bersambung).

Tulisan terkait :
Dari Bukit Hambalang Memandang Tanah Kelahiran


Reperensi Tulisan :


Sumber Photo : Dokumentasi Pribadi


Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

0 komentar

Bagaimana Pendapat Anda?