Hambalang,
tiba-tiba menjadi sangat populer di Indonesia pada tahun 2012. Iya,
kasus pembangunan Sport Center yang bermasalah, melambungkan nama
sebuah bukit yang terletak tidak jauh di Selatan Jakarta tersebut.
Kasus tersebut menyebabkan “tsunami politik” bagi Partai yang berkuasa
saat ini.
Skandal
Hambalang seperti bola salju, yang siap menggulung siapa saja yang
terindikasikan terlibat, dari Birokrat (mulai level Pemerintah Desa
sampai pejabat tinggi di kementerian), Pengusaha/Kontraktor, Konsultan
Pembangunan, elit Partai, anggota DPR, bahkan bisa membidik lingkaran
dalam di Cikeas. Terbukti, skandal tersebut telah membawa korban.
Yakni, ditetapkannya AAM sebagai tersangka oleh KPK. Implikasi dari
penetapan tersebut, AAM harus legowo mengundurkan diri sebagai Menpora.
Keterangan Photo : Komplek PPMP-TNI |
Multi Kasus di Hambalang Area.
Skandal
tentang Hambalang yang dijelaskan diatas, bukan kasus pertama. Ada
beberapa kasus yang belum pernah terungkap ke publik, khususnya di era
orde baru. Dalam tulisan saya sebelumnya (Dari Bukit Hambalang Memandang Tanah Kelahiran), dijelaskan tentang sejarah Hambalang dan daerah sekitarnya, dari era sebelum kemerdekaan sampai orde baru.
Bukit
Hambalang, Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat semula adalah
perkebunan dan lahan pertanian yang digarap warga sejak zaman Belanda
hingga Pemerintahan Soekarno berakhir. Pengelolaan berubah saat
pemerintahan Orde Baru, yang dipimpin Soeharto.
Sejak
orde baru berkuasa, banyak tanah, ex-perkebunan yang dikelola PTPN,
dialihkan statusnya menjadi tanah Hak Guna Usaha (HGU). Seperti Pada tahun 1977, PT Buana Estate milik Probosutedjo, adik tiri Soeharto, mendapatkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) seluas 7.050 hektar. Lahan yang dikelola Probosutedjo itu membentang dari kawasan Sentul hingga Hambalang.
Komplek Sport Center di Hambalang |
Seperti dilansir beritabogor.com, penguasaan lahan itu berdasarkan keputusan Mendagri melalui Dirjen Agraria No. SK.I/HGU/DA/77 yang berakhir 31 Desember 2002. Penguasaan
Buana Estate di lahan tersebut juga atas izin Kodam III/Siliwangi. HGU
yang dimiliki Probosutejo itu peruntukannya untuk perkebunan
cengkeh dan pisang, tapi kini tanah seluas 7.050 hektar itu
sudah terbagi-bagi hak penggunaannya, seperti untuk Sekolah
Olahraga Pelajar Nasional seluas 32 hektar, Bukit Merah Putih yang
menjadi Markas Pelatihan Pasukan Misi Perdamaian PBB (PMPP-TNI), seluas
262 hektare, dan diperuntukan bagi Reformasi Agraria seluas 250 Hektar untuk digarap masyarakat, yang tersebar di Desa Hambalang 220 hektare, Tangkil 10 hektare dan Sukahati 20 hektare. Namun menurut pengakuan masyarakat, sampai hari ini sejengkal tanah pun belum ada yang dibagikan kepada masyarakat. Pertanyaannya, tanah tersebut diambil alih siapa?
Ada
informasi yang menarik perhatian. Menurut tokoh masyarakat Hambalang
yang saya wawancarai, luas lahan Komplek PMPP-TNI yang semula hanya 242, 712 hektar, bertambah menjadi kurang lebih 450 hektar. Jika penjelasan tokoh masyarakat tersebut valid, Pertanyaannya, tanah siapa yang digunakan? Apakah luas lahan untuk masyarakat tersebut?
Dari hasil observasi dilapangan, memang pembangunan kompleks PMPP-TNI, tidak hanya berlokasi di Desa Sukahati Kecamatan Citeureup. Namun, ada juga yang masuk Desa Tangkil dan Hambalang. Tapi analisa saya baru asumsi. Harus di cek kebenarannya dengan data-data di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Skandal Pengosongan Desa Tangkil Kecamatan Citeureup.
Desa Tangkil, merupakan satu dari 14 desa di Kecamatan Citeureup yang
merupakan penyangga ibu kota Kabupaten Bogor. Jumlah penduduknya 442
kepala keluarga, atau 1.200 jiwa. Desa Tangkil adalah pemekaran Desa Hambalang pada tahun 1985. Desa
di perbukitan Merah Putih yang berdekatan dengan Pusat Misi
Pemeliharaan Perdamaian (PMPP-TNI) PBB itu serba kekurangan. Desa
tersebut bisa digolongkan tertinggal, meski berada di wilayah Kabupaten
Bogor atau hanya 60 km dari Jakarta.
Awalnya, luas wilayah desa Tangkil mencapai 715 hektar. Namun, kemudian
hanya tersisa 5,6 hektare karena kebijakan Pemerintah membuat beberapa
mega proyek di sana. Desa Tangkil memang dikelilingi proyek
prestisius. Sebutlah sekarang ada proyek Kementerian Pertahanan, yakni
PMPP-TNI, di areal seluas 265 hektare, kemudian di era orde baru PT.
PSP yang menguasai 400 hektare untuk Golf Permata Sentul. Belum lagi
Resort Korea, Sri Daya dan kawasan Real Estate Raibouw Hill, perumahan
berarsitektur modern, megah dan mewah. Dan tidak jauh dari Desa
Tangkil ada Sirkuit Sentul milik Tommy Soeharto dan perumahan mewah
Sentul Hight Land (Sentul City), lengkap dengan sarana olah raga
(jogging); pusat perbelanjaan modern; hypermart; Sentul International
Convention Center (SICC) dan sekolah elite nan mahal Pelita Harapan.
Ada
kasus yang tidak pernah terungkap kepada Publik, kaitannya dengan
pembebasan lahan Desa Tangkil untuk pembangunan mega proyek yang
dijelaskan diatas. Menurut informasi yang saya dapat dari
berbagai sumber, di rezim orde baru, pembebasan tanah di desa Tangkil,
sering kali menggunakan cara-cara intimidasi dan tindak kekerasan oleh
aparat dibantu preman-preman, dimana rakyat kecil yang menjadi
korbannya.
Warga Desa Tangkil dipaksa keluar, atau menjual tanahnya dengan murah
karena sikap represif pada saat itu. Awalnya Hampir 100% warga desa
Tangkil keluar dari Desa-nya. Namun, karena diprotes beberapa pihak, dan
bertentangan dengan peraturan Menteri Dalam Negeri, bahwa suatu desa
tidak boleh hilang secara administratif, dan terhapus dalam peta, jika
bukan karena program Pemerintah atau bencana alam.
Untuk menutupi kesalahan “bedol desa” tersebut, akhirnya sebagian warga
dikembalikan ketempat asalnya, dan hanya tersisa 5,6 hektar luas
wilayah desa.
Saat ini, keterbatasan areal tersebut membuat warga tak bisa mendirikan
masjid dan sekolah. Apalagi untuk bercocok tanam, sangat jauh panggang
dari api. Bahkan untuk menguburkan warga yang meninggal, pengurus desa
harus minta izin kepada desa tetangga.
Kemudian di Desa Tangkil mengenal istilah 6-9 atau 6-10. Itu merupakan
ukuran luas lahan dan bangunan rumah-rumah warga, yakni 6x9 meter atau
6x10 meter. Saat ini banyak rumah dihuni tiga sampai empat kepala
keluarga. Padahal luasnya terbatas dan masih gubuk.
Saya sangat menyesalkan kebijakan Pemerintah yang membangun proyek
disana, atas nama kepentingan negara dan permukiman/kawasan perumahan
elit, beserta fasilitas lapangan golf, tapi secara perlahan membunuh
kesempatan masyarakat untuk hidup dengan layak. Mereka pernah mengajukan
penambahan wilayah lahan. Hanya 10 hektare yang mereka minta, dari
ratusan hektare yang masih tidak dipergunakan perusahaan-perusahaan di
sana. Mereka juga telah mendatangi DPR dan DPRD Jawa Barat pada 2011.
Namun, para wakil rakyat yang berada di gedung sejuk itu tak mau
mendengar suara mereka. Surat-pun sudah dilayangkan ke Presiden pada
awal 2011, tapi tak berbuah apa-apa. Sekarang, Desa Tangkil yang Miskin,
semakin miskin. (Bersambung).
Referensi : Dari berbagai sumber
Tulisan terkait:
(1) Ada Udang Dibalik (Bukit) Hambalang [Bagian Kedua]
(1) Ada Udang Dibalik (Bukit) Hambalang [Bagian Kedua]
(2) Dari Bukit Hambalang Memandang Tanah Kelahiran [Bagian Pertama]
(3) Dari Bukit Hambalang Memandang Tanah Kelahiran [Bagian Kedua]
(3) Dari Bukit Hambalang Memandang Tanah Kelahiran [Bagian Kedua]
2 komentar
ni korupsi kelas kakap, gan
Terima kasih komentarmya...Iya...Kasus Hambalang penuh misteri...Terim kasih sudah berkunjung.