Slider

Kolom Muhammad Ridwan

PNPM Mandiri

Media Sosial

Review Film

Berita

Kuliner

» » » » Ada Udang Dibalik (Bukit) Hambalang [Bagian Pertama]

Hambalang, tiba-tiba menjadi sangat populer di Indonesia pada tahun 2012. Iya, kasus pembangunan Sport Center yang bermasalah, melambungkan nama sebuah bukit yang terletak tidak jauh di Selatan Jakarta tersebut. Kasus tersebut menyebabkan “tsunami politik” bagi Partai yang berkuasa saat ini. 

Skandal Hambalang seperti bola salju, yang siap menggulung siapa saja yang terindikasikan terlibat, dari Birokrat (mulai level Pemerintah Desa sampai pejabat tinggi di kementerian), Pengusaha/Kontraktor, Konsultan Pembangunan, elit Partai, anggota DPR, bahkan bisa membidik lingkaran dalam di Cikeas. Terbukti, skandal tersebut telah membawa korban. Yakni, ditetapkannya AAM sebagai tersangka oleh KPK. Implikasi dari penetapan tersebut, AAM harus legowo mengundurkan diri sebagai Menpora.


Keterangan Photo : Komplek PPMP-TNI

Jika dalam penyidikan KPK dan peradilan, AAM terbukti bersalah. Maka AAM akan mengikuti jejak Nazaruddin dan Angelina Sondakh yang sudah divonis bersalah. Keduanya harus mendekam di Hotel Prodeo, walaupun publik kecewa dengan hukuman Angelina Sondakh yang sangat ringan.

Multi Kasus di Hambalang Area.

Skandal tentang Hambalang yang dijelaskan diatas, bukan kasus pertama. Ada beberapa kasus yang belum pernah terungkap ke publik, khususnya di era orde baru. Dalam tulisan saya sebelumnya (Dari Bukit Hambalang Memandang Tanah Kelahiran), dijelaskan tentang sejarah Hambalang dan daerah sekitarnya, dari era sebelum kemerdekaan sampai orde baru.

Bukit Hambalang, Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat semula adalah perkebunan dan lahan pertanian yang digarap warga sejak zaman Belanda hingga Pemerintahan Soekarno berakhir. Pengelolaan berubah saat pemerintahan Orde Baru, yang dipimpin Soeharto.

Sejak orde baru berkuasa, banyak tanah, ex-perkebunan yang dikelola PTPN, dialihkan statusnya menjadi tanah Hak Guna Usaha (HGU). Seperti Pada tahun 1977, PT Buana Estate milik Probosutedjo, adik tiri Soeharto, mendapatkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) seluas 7.050 hektar. Lahan yang dikelola Probosutedjo itu membentang dari kawasan Sentul hingga Hambalang.

Komplek Sport Center di Hambalang
Seperti dilansir beritabogor.com, penguasaan lahan itu berdasarkan keputusan Mendagri melalui Dirjen Agraria No. SK.I/HGU/DA/77 yang berakhir 31 Desember 2002. Penguasaan Buana Estate di lahan tersebut juga atas izin Kodam III/Siliwangi. HGU yang dimiliki Probosutejo itu peruntukannya untuk perkebunan cengkeh dan pisang, tapi kini tanah seluas 7.050 hektar itu sudah terbagi-bagi hak penggunaannya, seperti untuk Sekolah Olahraga Pelajar Nasional seluas 32 hektar, Bukit Merah Putih yang menjadi Markas Pelatihan Pasukan Misi Perdamaian PBB (PMPP-TNI), seluas 262 hektare, dan diperuntukan bagi Reformasi Agraria seluas 250 Hektar untuk digarap masyarakat, yang tersebar di Desa Hambalang 220 hektare, Tangkil 10 hektare dan Sukahati 20 hektare. Namun menurut pengakuan masyarakat, sampai hari ini sejengkal tanah pun belum ada yang dibagikan kepada masyarakat. Pertanyaannya, tanah tersebut diambil alih siapa?


Ada informasi yang menarik perhatian. Menurut tokoh masyarakat Hambalang yang saya wawancarai, luas lahan Komplek PMPP-TNI yang semula hanya 242, 712 hektar, bertambah menjadi kurang lebih 450 hektar.  Jika penjelasan tokoh masyarakat tersebut valid, Pertanyaannya, tanah siapa yang digunakan? Apakah luas lahan untuk masyarakat tersebut?

Dari hasil observasi dilapangan, memang pembangunan kompleks PMPP-TNI, tidak hanya berlokasi di Desa Sukahati Kecamatan Citeureup. Namun, ada juga yang masuk Desa Tangkil dan Hambalang. Tapi analisa saya baru asumsi. Harus di cek kebenarannya dengan data-data di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Skandal Pengosongan Desa Tangkil Kecamatan Citeureup.

Desa Tangkil, merupakan satu dari 14 desa di Kecamatan Citeureup yang merupakan penyangga ibu kota Kabupaten Bogor. Jumlah penduduknya 442 kepala keluarga, atau 1.200 jiwa. Desa Tangkil adalah pemekaran Desa Hambalang pada tahun 1985. Desa di perbukitan Merah Putih yang berdekatan dengan Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP-TNI) PBB itu serba kekurangan. Desa tersebut bisa digolongkan tertinggal, meski berada di wilayah Kabupaten Bogor atau hanya 60 km dari Jakarta.

Awalnya, luas wilayah desa Tangkil mencapai 715 hektar. Namun, kemudian hanya tersisa 5,6 hektare karena kebijakan Pemerintah membuat beberapa mega proyek di sana. Desa Tangkil memang dikelilingi proyek prestisius. Sebutlah sekarang ada proyek Kementerian Pertahanan, yakni PMPP-TNI, di areal seluas 265 hektare, kemudian di era orde baru PT. PSP yang menguasai 400 hektare untuk Golf Permata Sentul. Belum lagi Resort Korea, Sri Daya dan kawasan Real Estate Raibouw Hill, perumahan berarsitektur modern, megah dan mewah.  Dan tidak jauh dari Desa Tangkil ada Sirkuit Sentul milik Tommy Soeharto dan perumahan mewah Sentul Hight Land (Sentul City), lengkap dengan sarana olah raga (jogging); pusat perbelanjaan modern; hypermart; Sentul International Convention Center (SICC) dan sekolah elite nan mahal Pelita Harapan.

Ada kasus yang tidak pernah terungkap kepada Publik, kaitannya dengan pembebasan lahan Desa Tangkil untuk pembangunan mega proyek yang dijelaskan diatas. Menurut informasi yang saya dapat dari berbagai sumber, di rezim orde baru, pembebasan tanah di desa Tangkil, sering kali menggunakan cara-cara intimidasi dan tindak kekerasan oleh aparat dibantu preman-preman, dimana rakyat kecil yang menjadi korbannya.

Warga Desa Tangkil dipaksa keluar, atau menjual tanahnya dengan murah karena sikap represif pada saat itu. Awalnya Hampir 100% warga desa Tangkil keluar dari Desa-nya. Namun, karena diprotes beberapa pihak, dan bertentangan dengan peraturan Menteri Dalam Negeri, bahwa suatu desa tidak boleh hilang secara administratif, dan terhapus dalam peta, jika bukan karena program Pemerintah atau bencana alam.

Untuk menutupi kesalahan “bedol desa” tersebut, akhirnya sebagian warga dikembalikan ketempat asalnya, dan hanya tersisa 5,6 hektar luas wilayah desa.

Saat ini, keterbatasan areal tersebut membuat warga tak bisa mendirikan masjid dan sekolah. Apalagi untuk bercocok tanam, sangat jauh panggang dari api. Bahkan untuk menguburkan warga yang meninggal, pengurus desa harus minta izin kepada desa tetangga.

Kemudian di Desa Tangkil mengenal istilah 6-9 atau 6-10. Itu merupakan ukuran luas lahan dan bangunan rumah-rumah warga, yakni 6x9 meter atau 6x10 meter. Saat ini banyak rumah dihuni tiga sampai empat kepala keluarga. Padahal luasnya terbatas dan masih gubuk.

Saya sangat menyesalkan kebijakan Pemerintah yang membangun proyek disana, atas nama kepentingan negara dan permukiman/kawasan perumahan elit, beserta fasilitas lapangan golf, tapi secara perlahan membunuh kesempatan masyarakat untuk hidup dengan layak. Mereka pernah mengajukan penambahan wilayah lahan. Hanya 10 hektare yang mereka minta, dari ratusan hektare yang masih tidak dipergunakan perusahaan-perusahaan di sana. Mereka juga telah mendatangi DPR dan DPRD Jawa Barat pada 2011. Namun, para wakil rakyat yang berada di gedung sejuk itu tak mau mendengar suara mereka. Surat-pun sudah dilayangkan ke Presiden pada awal 2011, tapi tak berbuah apa-apa. Sekarang, Desa Tangkil yang Miskin, semakin miskin. (Bersambung).

Referensi : Dari berbagai sumber

Tulisan terkait:
(1) Ada Udang  Dibalik (Bukit) Hambalang [Bagian Kedua]

Share Artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

2 komentar

avatar

ni korupsi kelas kakap, gan

avatar

Terima kasih komentarmya...Iya...Kasus Hambalang penuh misteri...Terim kasih sudah berkunjung.

Bagaimana Pendapat Anda?